Kamis, 02 Januari 2014

Just fell in love with Michelle Shaprow!

Belakangan ini gue suka selektif milih lagu-lagu yang enak didengerin dan mengena di hati. Ya, gara-garanya perasaan sering galau gak keruan dan tiba-tiba minta banget dihibur pake lagu-lagu catchy. Jujur, dulunya sih gue sukanya sama lagu-lagu Korea gitu. Bukan cuma karena penyanyinya yang imut-imut (boyband dan girlband yang mukanya kayak boneka abis), tapi juga karena lagu-lagunya ear catchy banget. Jangan tanya soal dancenya! Soalnya kayak apapun kerennya itu dance, gue tetap gak bisa dance -_-

Tapi tiba-tiba semalam, saat gue sedang menghabiskan kuota modem dari kantor yang khusus didedikasikan buat gue (coba bayangkan, dapet pinjeman modem gratis abonemen yang artinya tagihan dibayar belakangan, yeay!), gue akhirnya menggunakannya untuk tujuan mulia -> membahagiakan hati. Selain download film-film bermutu yang menurut gue bisa mendamaikan hati dengan wajah pemerannya yang kece-kece badai (sorry, lagi-lagi drama Korea ^^), gue pun memutuskan untuk belajar make up dari Beauty Guru bernama Michelle Phan yang ngasih tips-tips make up simpel, keren, dan editing videonya oke banget. Dan tidak lupa, videonya selalu diiringi oleh lagu-lagu yang ear catchy banget! Salah satunya adalah lagu ini Back Down to Earth yang langsung gue coba nyanyiin malam kemarin juga. Whew! Lagu ini memberikan semangat buat gue untuk down to earth lagi, balik ke dunia nyata, tanpa melepaskan mimpi-mimpi gue. Pas banget untuk mewarnai 2014 yang luar biasa!


Untuk lebih lengkapnya, bisa dengerin di Michelle Shaprow Playlist. Keren! Lagunya dibikin pake teknik yang sungguh-sungguh! Hehe. Susah buat dicontek, cuy!

Happy New Year 2014!


           Yeay! Selamat tahun baru 2014! Selamat menjalani hari-hari luar biasa penuh semangat di tahun kuda yang penuh warna (yang hitam-putih namanya bukan kuda, kan?)! Semoga semua resolusi tahun baru yang udah dibikin dari tahun 2013 bisa sukses tercapai di tahun ini. Amin!
          Dan boleh jadi, ini adalah salah satu impian dalam resolusi tahun baru gue: mulai menulis blog. Well, sebenarnya gue pertama kali bikin blog sejak 2010 karena tugas kuliah copywriting di kampus dulu. Tapi kesannya itu cuma formalitas. Gue nggak pernah posting apa-apa lagi sejak itu. Oke, gue memang suka nulis, tapi nulis pakai tangan lebih tepatnya. Jadi, hobi ‘menulis’ secara harafiah. Dan gue suka ngetik. Sejak SD. Dulu malah pernah bercita-cita jadi kasir, walaupun jelas cita-cita itu kurang tinggi (lihat aja iklan salah satu permen di TV, jlep asli nohok banget!). Jadi, gue berharap mulai tahun ini ketika usia gue sudah beranjak dewasa dan gue mulai menemukan tujuan hidup gue yang sebenarnya, gue akan memulai menuliskan pengalaman-pengalaman seru gue, baik yang udah terjadi ataupun pemikiran-pemikiran seru tentang beberapa hal, dalam blog ini. Mungkin akan banyak cerita pribadi dan absurd. Tujuannya murni untuk menghibur diri sendiri dan syukur-syukur orang yang baca terhibur juga. Semoga hasilnya nggak buruk ya, guys! Enjoy! ^^


Selasa, 19 November 2013

Kejar Vespa di Jakarta!

Menurut saya, menyetir kendaraan itu adalah hal yang harus dinikmati. Nggak untuk balap-balapan atau sok-sokan di jalan. Kita memang sedang diburu waktu, tapi bukan berarti menghalalkan segala cara untuk sampai di tempat tujuan paling duluan, kan? 

Dan pagi ini, satu cerita tentang balap #vespa dimulai. Saya sama sekali tidak berniat untuk lebih cepat daripada yang lain, karena belakangan ini sangat menikmati pemandangan di jalanan. Kebetulan pagi ini mau konvoi dengan adik yang naik PX. Ketika saya sedang mencari dia yang ketinggalan di belakang, yang muncul sebuah LX cokelat yang kesannya menguntit saya. Oke! Saya bisa aja GR. Tapi dia selalu ada di belakang motor saya dari depan CITOS sampai BLOK M (kalau waktu normal menyetir motor kira-kira 30 menit)! Tepat di belakang motor saya dan mengikuti strategi selap-selip sana-sini dengan sempurna! Whoa! Enak di dia... gue bukain jalan, dia tinggal ngikut. Dan kesannya saya jadi kayak buronan dikejar gitu, makin pengen kabur... gak berhasil. Satu-satunya cara, ngumpet di balik mobil2 di perapatan dan... berhasil! Haha! Baru deh abis itu saya balik ngikutin dia dari belakang dan akhirnya strategi saya berhasil mendahului dia di TENDEAN. Wuih! Jadi, inti dari perjalanan pagi ini adalah kejar-kejaran! Itulah seninya menyetir. Jalanan di Jakarta gak selalu menyebalkan kok, kalau tahu strategi untuk menikmatinya 

#vespa #journey #race #jakarta



Rabu, 09 Oktober 2013

My Beloved Friends

I got a lot of friends in the past 4 years. Bukan cuma teman dalam arti kata manusia yang sesungguhnya. Tapi teman sejati menurut gue adalah siapa yang menemani gue di saat suka dan duka. Then, the answer is my own vehicle! Tadaaaa! Kalo bagi orang lain kendaraan itu cuma ada di saat mereka butuh pergi dari satu tempat ke tempat lain, kalo menurut gue sih gitu juga. Haha. Gue gak secinta itu ngurusin kendaraan gue sampe rela gak tidur demi dia, mandiin dia sementara gue belum mandi, nganterin ke salon, atau nyemir doi di saat gue pun gak terpoles make up sama sekali. Hello! Walaupun gue jahat sama kendaraan gue, tapi gue tuh cinta sama dia. Gue cinta! Lebay? Yes. Cinta nggak harus ditunjukkan oleh kata-kata, nggak juga harus selalu dilihat pake aksi nyata. Cinta hanya butuh pengorbanan. Nggak intelek banget bahasa gue. Nggak intelek banget juga perasaan gue.

Then, gue pertama kali punya kendaraan sendiri mungkin pas balita. Pertama kali itu sepatu cit-cit-cuit yang bisa bunyi dan nyala-nyala. Damn. Nggak usah diceritain. Gue pernah lihat waktu umur tiga tahun gue naik skateboard. Tapi gue sih curiga itu bukan punya gue. Secara the way of gue menaikinya benar-benar gak elegan. Alih-alih gue naik dengan gagah (umur tiga tahun dan gagah itu bukan padanan kata yang indah), gue cuma duduk di atasnya, lantas ditarik pake sepeda sepupu gue. Terus muka sepupu gue ceria banget seakan gue adalah barang belanjaan yang dia bawa abis dari pasar. Dan herannya, gue masih sempat bawa-bawa boneka yang namanya 'Boneka Coret' gara-gara sekujur mukanya gue coret pake pensil.

Kendaraan ke-2 gue, bisa dipastikan adalah sepeda. Gue rasa sepeda roda empat sih. Warnanya pink. Rodanya putih.







The lost sister has comeback!

Hello!

I'm so tired to stop writing at the moment because I love love love it so much! Yippie!

Setelah mengumpulkan sejuta semangat untuk balik lagi nulis, akhirnya gue sadar kalau menulis adalah salah satu hal yang membuat gue sangat 'hidup' melebihi kehidupan gue sendiri --> absurd: mode on!

Am I crazy? YES! Absolutely.
Gue cuma nggak bisa tahan diem aja kalo mengalami suatu kejadian penting, terus cuma gue kenang-kenang sendiri tanpa gue tulis. Yah namanya juga manusia, pasti punya kebiasaan buruk bernama LUPA. Well, sebenarnya menulis blog sekarang ini bisa jadi prioritas gue yang agak utama. Pasalnya, profesi gue yang sekarang mengharuskan gue berinteraksi dengan dunia digital jauh lebih dalam dari biasanya (berasa kena hipnotis Rommy Rafael). Dan apakah profesi gue sekarang ini adalah pembuat blog? NO! Desainer blog? Apalagi... Gue adalah seseorang yang iri pada blogger yang bisa menuangkan inspirasi dan cerita hidup mereka yang memotivasi orang lain, lantas menghasilkan uang yang nggak sedikit jumlahnya (ujung-ujungnya kematrean gue nggak dapat dihindarkan).

Siapa pula yang nggak tertarik dengan profesi unyu-unyu itu? Gue punya temen, dulunya cuma doyan main lari-larian di kelas dan berantem-beranteman gak jelas. Sampe gue lupa, dia itu temen gue dari mana. Dan ternyata, ketika besar dia sukses jadi stand up comedian dan bisa menghasilkan uang banyak dari profesinya sebagai twitter influencer. Cuma ngetwit-ngetwit doang, sambil gegoleran di lantai, setengah merem main2 hape, dibayar bo! Eh, tapi dia bukan blogger ya? ---> skip aja tulisan ini

Dan sebenarnya, beberapa bulan belakangan ini ketika gue lagi gak ada kerjaan (pak bos, jangan iri kalo gue gak ada kerjaan, terus ngasih gue kerjaan berlimpah biar sama rata, karena harkat martabat antara laki-laki dan perempuan sejatinya tentu berbeda), gue biasanya blog walking. Ini adalah kegiatan menyenangkan yang sangat gratis (memanfaatkan internet kantor yang cepet banget sampe bisa download satu drama Korea sepanjang 16 episode dalam 1 hari), dan menambah wawasan yang amat mendalam. Biasanya gue baca blog traveling, make up, kadang juga review film dan produk elektronik. Nah, dari situ gue mulai mendefinisikan kecintaan gue dan spesialisasi gue sebenarnya apa buat ditulis di blog. Dan apakah gue sudah mendapatkan jawabannya? Ternyata enggak juga. Gue terlalu banyak berharap.







A Long Way to the London Bridge: Chapter 2


DUA
Datang dari masa lalu

Ganis ingat betul pertama kali benar-benar jatuh cinta ketika baru saja mendudukkan diri tiga hari di bangku SMA. Saat itu, sebagai siswa kelas satu yang beranjak puber dan berusaha mengenal lawan jenis dalam intensi percintaan, Ganis dan teman-temannya sepakat berburu kakak kelas kece di sekolah yang dipercaya sebagai tempat di mana banyak kisah cinta manis penuh kenangan bermula. Sejak hari pertama masuk SMA, Ganis sudah mencoba memilih-milih kakak kelas mana yang akan diburunya jadi gebetan kelak. Mulai dari anak basket, anak bola, anak taekwondo, anak OSIS, sampai anak ROHIS (baca: Rohani Islam) yang dianggap sebagai tempat paling tepat mencari calon suami saleh dari SMA. Tapi entah mengapa, intuisinya hanya mengejar satu nama.
Waktu itu Juli 2005.
Matahari sedang terik-teriknya membakar bumi. Tak banyak yang bisa dilakukan para siswa baru selain berdoa agar tak gosong dijemur panitia Masa Orientasi Siswa (MOS) di lapangan upacara demi menonton persembahan seni dari tiap perwakilan kelas satu. Kebetulan kelas Ganis tampil pertama ketika masih pagi, jadi sisa waktu pertunjukan kebanyakan dihabiskan anggota kelas itu untuk menutupi wajah dengan handuk, kertas atau apa pun itu yang bisa melindungi wajah mereka dari sengatan matahari. Oke, jadi tidak satupun teman sekelas Ganis berhasil menjalankan misi mencari gebetan di saat-saat genting seperti ini karena gagal menebar pesona mereka di balik tameng anti panas.
Meskipun begitu, beberapa siswa laki-laki di kelasnya masih menyempatkan diri untuk memberi semangat kepada siswi kelas tetangga yang jadi idola instan karena kecantikannya memancar jelas dari jarak lima puluh meter sekalipun. Bahkan, kakak kelas cowok pun tak segan-segan bersorak dan menyebut-nyebut kata ‘celana’ dengan keras. Walau aneh, Ganis mendengarnya demikian. Matanya memicing dan tak melihat ada yang mencurigakan dari siswi berambut panjang berwarna brunette dengan kulit putih kemerahan yang mirip bule itu. Tak ada celana melorot, celana kedodoran atau celana terbalik. Lalu, mengapa seisi sekolah heboh meneriakkan kata yang sama? Tak mau ketinggalan zaman, Ganis pun ikut berteriak.
“Celana! Celana!”
Tiba-tiba seorang teman sekelasnya menyenggol lengan Ganis dan membisikinya keras. “Namanya Elana, Nis! Bukan celana!”
Oke, Ganis sudah kehilangan muka dan setelah itu tak mau lagi terlibat dengan segala jenis pertunjukan anak kelas satu yang mampir di hadapannya. Bahkan, ketika Ares –siswa baru paling tampan seangkatan – manggung main gitar menyanyikan lagu ‘This Love’-nya Maroon 5 dan mendapat sambutan meriah dari kakak kelas cewek, Ganis sudah terlelap di balik handuk putihnya. Berusaha menjauhi matahari dan ingar-bingar Masa Orientasi Sekolah yang tak semanis bayangannya.
“Nis, mau demo ekskul, nih. Bangun! Banyak kakak kelas ganteng unjuk gigi, lho!” kata teman Ganis yang ada di sebelahnya. Mereka sudah janjian untuk cari gebetan bareng di acara ini sebagai penyemangat memulai masa SMA yang terkenal sangat indah.
Kepala Ganis sedang miring sebelah saat seseorang menyenggolnya agar membuka mata. “Ganis! Anak basket lho abis ini yang tampil. Gue dengar ada yang namanya Rasyad. Orangnya ganteng gila! Dulunya pernah ikut klub profesional junior.”
Terdengar bunyi deham pelan dari balik handuk Ganis. “Hmm, gue tunggu anak bola aja, deh. Basket udah pasti banyak yang ngegebet.”
Giliran anak ekskul bola tampil, Ganis justru sedang asyik menempelkan wajahnya ke lututnya yang ditekuk. Mencoba mencari sandaran yang lebih mantap dari sekadar bahunya yang mulai pegal.
“Woy, ini ekskul bola lagi main. Sumpah! Kakak yang jadi kiper itu manis banget. Elo nggak mau lihat?”
Ganis menggeleng pelan. “Udah, buat lo aja. Gue nanti deh, pas anak ROHIS.”
Berhubung ROHIS itu bukan ekskul melainkan organisasi, para anggotanya pun tak tampil terang-terangan unjuk kebolehan di lapangan hanya untuk menjaring anggota. Jadi, harapan Ganis untuk ‘belanja’ kakak kelas saleh musnah sudah sekalipun ia nekat membuka mata untuk pertama kalinya sejak sesi demo ekskul dimulai. Apa mau dikata, memejamkan mata lagi tidak mungkin karena ternyata ekskul yang tampil selanjutnya benar-benar membuat mata Ganis melotot dan sulit untuk berkedip.
Capoeira?? Sekolah macam apa punya ekskul kayak gini?
Musik berirama latin serta-merta berkumandang melalui speaker yang terpasang di berbagai sisi gedung sekolah. Sekelompok siswa mulai melakukan gerakan martial art khas Amerika Latin dan menghanyutkan semua orang dengan keindahan koreografi mereka yang penuh semangat. Beberapa dari mereka bergoyang, menari dan saling menyerang dalam pola gerakan yang indah seperti halnya penari capoeira sungguhan. Nyaris tanpa cela.
Saat menikmati penampilan itu, Ganis sadar ia tak bisa bernapas dengan benar. Sekalipun kadang ia masih bisa mendengar para siswi riuh memanggil-manggil sosok pemuda tampan yang baru saja melakukan gerakan akrobatik di atas tubuh anggota capoeira yang lain, Ganis paham betul tubuhnya kini sedang tidak berada pada kondisi normal. Seketika panas matahari menyebar turun dari kepalanya menuju wajah. Menghantarkan kobaran yang tidak pernah bisa Ganis hentikan. Ia tahu ini mungkin gejala heatstroke karena kepalanya terlalu lama berada di bawah sinar matahari langsung. Tetapi agaknya Ganismerasa lebih pas menyebut ini heartstroke sejak jantungnya berdegup kencang menantang tatapan tajam pemuda itu. Seorang siswa kelas dua berwajah latin yang memperkenalkan diri sebagai ketua ekskul capoeira sesaat setelah menyelesaikan demonya.
“Kalau mau gabung, bisa datang ke kelas saya di 2 IPS 1. Langsung ketemu saya, Marky atau ke 2 IPA 2 ketemu Randy. Terima kasih.”
Damn!
Ganis langsung tahu ia jatuh cinta dengan yang namanya Marky.


            Bagi Ganis, Marky itu Dewa Cinta.
            Hampir tak ada perempuan yang bisa menolak pesonanya sekalipun Ganis yakin Marky bukan tipe cowok keren yang haus popularitas. Tanpa perlu banyak gaya, Marky bisa saja dengan mudah menundukkan lawan jenis. Tubuh atletis karena rajin olahraga ditambah wajah latin percampuran antara Italia dan Jawa yang selalu tampak ‘cowok banget’, berhasil memikat banyak perempuan di sekolah. Tak terkecuali Elana, si primadona sekolah yang terkenal karena sering wara-wiri di berbagai majalah sebagai fotomodel dan anak pengacara handal. Meski sudah ‘ditembak’ tujuh cowok berbeda dalam satu semester, anehnya Elana tetap tak berhenti mengincar Marky.
            Singkat cerita, Marky pantas dipuja wanita. Tak hanya karena keindahan fisiknya saja yang memukau, secara prestasi pun ia cukup menjanjikan. Selain jago olahraga, dalam pelajaran sekolah nilainya cukup memuaskan. Belum lagi aktif organisasi ini-itu baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Sikapnya pun dikenal ramah, rendah hati dan penolong sehingga banyak orang ingin menjadi temannya. Berdasarkan semua kualifikasi itu, Ganis memutuskan bahwa Marky lebih dari sekadar calon suami idaman, tetapi Marky adalah cinta sejatinya. Entah apa tolok ukurnya, Ganis yakin betul Marky adalah jodoh yang dikirimkan Tuhan untuknya.
            Keyakinan itu lantas membuat hari-hari SMA Ganis selalu dipenuhi keceriaan tanpa batas sejak melihat Marky pada hari ke-3 di sekolah. Tawanya selalu merekah setiap kali menjejakkan kaki di gerbang sekolah dan tak pernah terburu-buru ingin meninggalkannya, meski penjaga sekolah kerap kali mengusir Ganis untuk pulang tepat waktu. Selain itu, Ganis juga nyaris tak pernah datang terlambat dan stand by di balkon kelasnya pada pukul tujuh kurang lima belas untuk menjadi saksi mata adegan Marky memasuki kelasnya di lantai dua yang tepat berseberangan dengan kelas Ganis di lantai tiga. Bagi Ganis, adanya lapangan basket yang memisahkan keberadaan mereka saat jam pelajaran, sama sekali tidak menghalangi koneksi batin antara dirinya dan Marky. Buktinya, dalam sehari ia bisa bertemu Marky beberapa kali di berbagai sudut sekolah mereka yang amat luas, meski tidak janjian sebelumnya. Ya, mana bisa janjian kalau berkenalan pun tidak pernah?
            “Gue malu, Nay. Kalau disuruh saingan sama cewek rakyat jelata juga, gue sih siap di jajaran terdepan! Tapi kalau saingan gue cewek yang cantiknya berlebihan kayak Elana, gue udah kalah telak di medan perang. Mending pakai strategi gerilya aja yang masih bisa nikung dari belakang dan nyelamatin muka gue di depan lawan,” tukas Ganis suatu kali saat teman sebangkunya, Nayla, meminta Ganis untuk berhenti mengagumi Marky dari jauh dan mulai melakukan pendekatan secara terang-terangan agar tidak disalip oleh Elana.
Oleh sebab itu, strategi perang diam-diam a la Ganis sudah rapi disusun dalam sebuah buku diary bernama Kitab Cinta. Isinya tak lain adalah setiap momen berharganya bertemu dengan Marky, meski tak sepatah katapun pernah terlontar secara langsung di antara mereka. Ganis tahu, satu-satunya cara agar tetap menjaga kesempatan untuk dekat dengan Marky tanpa takut dicela adalah menjadi seorang stalker. Ia menguntit Marky ke manapun pergi di lingkungan sekolah dan menuliskannya dalam Kitab Cinta. Mulai dari biodata lengkap, hobi, kebiasaannya ketika istirahat, makanan favorit, teman sepermainan, kegiatan di luar sekolah, pelajaran yang disukai, nomor ujian, nomor sepatu, nomor ponsel, akun Friendster, alamat rumah hingga pelat nomor motor bebek yang selalu setia mengantar cowok itu ke sekolah sudah lengkap dicatat Ganis. Saking tak ingin kehilangan momen catat-mencatatnya, Ganis bahkan rela datang ke sekolah di hari Sabtu – meski dirinya libur – hanya untuk memantau perkembangan Marky latihan capoeira. Itulah mengapa, bagi Ganis hari libur sekolah adalah penderitaan karena mengurangi waktunya untuk bisa bertemu Marky.
Demi Tuhan, Marky memang benar-benar membuat Ganis kehilangan kewarasan.


Siang, sekitar awal 2006.
“Ganisyong, ada pertandingan bola antar angkatan, nih! Nonton yuk pas jam istirahat makan siang! Yang main kelasnya Kak Rey, lho,” lontar Nayla kencang. Ia dan Ganis memang terbiasa merumpi tentang kakak kelas rupawan. Tetapi mereka tak pernah membahas Marky terang-terangan karena Ganis sudah keburu ‘menyegel’ mulut Nayla agar tak membicarakan apa pun yang negatif tentang pujaan hatinya.
“Nggak minat sama Kak Rey. Kayak playboy. Senyum sana-sini mirip salesman,” balas Ganis sambil membuka majalah yang memampang wajah Elana sebagai sampulnya.
Nayla melemparkan buntelan kertas ke wajah Ganis. “Yaelah. Gue tahu elo sukanya sama si Itali gambreng itu. Tapi jangan ngata-ngatain idola gue playboy, dong! Memangnya ‘Si Sepidol’ nggak playboy? Ganteng gitu masa nggak punya pacar?” seru Nayla curiga. Ia selalu menyebut Marky dengan julukan ‘Si Sepidol’ karena baginya nama gebetan Ganis itu mirip sebuah merek spidol terkenal.
Ganis mendengus pelan. “Tenang, dia masih jomblo. Nungguin gue kayaknya. Bahkan, ‘Si Celana’ aja nggak bisa nundukkin dia. Berarti posisi gue aman,” kata Ganis sembari menaikkan kedua alisnya genit.
Wait! Kalau Elana yang cantik-tajir-seksi gitu aja nggak dilirik, gimana elo?”
JEDUG!
Tanpa aba-aba, Ganis sudah menggetok kepala Nayla dengan majalahnya. “Heh! Kecengan gue nggak mudah terpikat sama cewek modal duniawi kayak Elana.”
“Jadi, maksud lo Marky cari cewek yang berorientasi akhirat kayak elo gitu? Lebih nggak mungkin lagi. Pantesan dia jomblo. Sebenarnya dia itu cowok normal nggak, sih?”
Tanpa aba-aba, Ganis langsung membungkam mulut Nayla yang ‘celamitan’ dengan tisu. Takut ada teman-teman lain yang mendengar siapa objek yang sedang mereka bicarakan. Padahal, Ganis sudah mati-matian merahasiakan statusnya sebagai pemuja Marky karena tak mau dicibir rakyat SMA-nya sebagai ‘Babu merindukan Tuan’. Bisa kelam sisa masa SMA-nya nanti. Tapi kalau dipikir-pikir, kecurigaan Nayla ada benarnya juga. Mengapa hampir setahun Ganis satu sekolah dengannya, Marky tak pernah sekalipun terlihat mendekati seorang perempuan? Jaga image? Jaga diri? Jaga gengsi? Jaga standar yang ketinggian?
Atau…
“Dia normal, kok. Gue yang akan buktiin,” tukas Ganis mengakhiri percakapan dan sukses membuat Nayla menganga selebar-lebarnya.


Awal 2007. Marky sudah kelas tiga.
Hampir tidak terhitung lagi kejadian apa saja yang sudah Ganis catat dalam Kitab Cinta selama nyaris dua tahun belakangan. Bahkan, sekarang setiap catatan ditambahkan dengan selipan foto candid yang diambil dari kamera ponsel semenjak Ganis ketahuan petugas tata usaha sedang berusaha mencomot pas foto Marky yang menjadi dokumen administrasi sekolah. Jadi, biar aman Ganis melakukan dokumentasi pribadi untuk melengkapi data agar tambah akurat. Meskipun hasil fotonya jelek, toh ketampanan wajah eksotis Marky tidak pernah terbantahkan. Setidaknya, bagi Ganis yang selalu menjerit-jerit begitu berhasil menangkap sosok Marky melalui kameranya.
Pertengahan Februari, musim ujian pun sudah dimulai. Itu pertanda sudah waktunya Ganis mengubah strategi gerilya menjadi emansipasi wanita sebelum Marky benar-benar lulus SMA. Setidaknya, Ganis harus mulai pensiun jadi pengagum rahasia dan muncul ke permukaan agar memberikan kesan mendalam pada Marky sebelum perpisahan menjelang. Ganis tahu ini sangat berat. Selama ini ia tidak pernah punya cukup keberanian untuk menampakkan diri di hadapan Marky dalam dunia nyata, dan hanya mampu mengangankan Marky dari alam bawah sadarnya. Tapi, percobaan harus tetap dilaksanakan sekalipun semuanya mengalami kegagalan total.
Dimulai dari kue Valentine yang Ganis selipkan khusus di laci meja Marky saat masih pagi buta, justru berakhir di perut teman sebangku Marky yang kelaparan. Belum lagi kartu ucapan handmade yang menampilkan karikatur wajah Marky dalam ekspresi boyish yang selama ini Ganis perhatikan, sukses ditertawakan teman sekelas Marky karena dianggap gayish alias mirip gay gara-gara bentuk badannya dalam gambar itu terlalu berotot. Tidak hanya sampai di situ. Kado ulang tahun Marky yang oleh Ganis dibungkus tas plastik keresek warna hitam dan digantungkan di motor bebek Marky sebelum jam pulang sekolah agar tidak mencurigakan, nyatanya malah dikira bom oleh satu sekolahan. Akibatnya, kado itu ditinggalkan pemiliknya dan tak pernah disentuh lagi hingga akhirnya dipungut oleh satpam, dan sukses menghunjam bak sampah.
Sampai di sini, tadinya Ganis ingin menyerah. Namun, dukungan Nayla membuat Ganis tahan malu. Ia menggunakan bakat terpendamnya sebagai penulis fiksi untuk mengarang sebuah cerita bersambung di mading sekolah dengan deskripsi tokoh utama persis Marky dan dirinya. Tapi nama tokoh dan penulis tetap disamarkan, meski kebanyakan orang yang membacanya telah sadar tokoh utama pria dalam cerita itu adalah Marky. Akibatnya, para siswa dan guru kompak menduga ada seorang siswi yang punya penyakit obsesi cinta kronis, lalu nekat curhat di mading untuk misi ‘penembakan’ tidak bertanggung jawab. Baru sampai empat jilid dimuat, cerita bersambung itu dicopot paksa oleh massa.
Oke, semua senjata Ganis luluh lantak ‘dibumi-hanguskan’ oleh warga sekolah.
“Aduh, gue udah nggak bisa lagi nyoba terang-terangan bilang suka sama dia. Udah nggak punya muka nih gue,” kata Ganis di sela-sela jam istirahat di kantin. Ia mengaduk kuah mie ayam sambil menguap malas karena udara mendung langsung membuatnya mengantuk.
“Masa baru gini udah nyerah?” tukas Nayla sambil meminum jus di sebelah Ganis. “Katanya lo serius cinta sama dia? Lo yakin nggak mau bilang sampai kapanpun juga? Bentar lagi doi lulus, lho. Jangan sampai entar lo menyesal nggak bisa ketemu dia lagi!”
Pandangan Ganis menerawang menuju lapangan basket yang bersebelahan dengan kantin. Di sana ada Marky yang cuek makan bakso sambil sesekali menendang bola dari pinggir lapangan. Aura boyish-nya selalu berhasil memikat Ganis dari jarak berapa pun.
“Iya juga, sih. Gue pengen kenal dia, pengen akrab, pengen jalan bareng ngabisin waktu sama dia. Tapi gue nggak pede, Nay. Kalau bicara aliran kebatinan, gue sama dia punya chemistry bawah sadar yang menakjubkan. Jantung gue selalu bergetar kalau merasa dia itu ada di dekat gue. Tapi kalau udah digeser ke kehidupan nyata, benar-benar nggak nyambung. Lihat aja, latar belakang kita berdua udah beda. Kasta, tampang, popularitas, prestasi dan pergaulan gue sama dia udah kayak babu sama tuan. Beda rating.”
“Level, kali! Lo pikir kalian berdua acara TV? Udah deh, lo tuh kebanyakan pertimbangan. Nggak usah gengsi. Masa dua tahun suka sama orang, sama sekali nggak ada kemajuan kayak gini? Mana nggak kenal orangnya pula!” protes Nayla.
Alis Ganis berkerut, mencoba introspeksi diri. “Benar sih, Nay. Terus, gue harus gimana? Ngajak kenalan dia? Ah, tapi gue takut ditolak. Gue nggak mau patah hati!” rengek Ganis seperti anak kecil sedang merajuk minta dibelikan mainan.
“Eh, cuma kenalan doang nggak mungkin ditolak. Pelan-pelan aja dulu. Jangan langsung tembak. Biar dia nggak serem sama lo,” ucap Nayla yang ditanggapi Ganis dengan anggukan mantap.
Selama ini Ganis selalu meminta petuah dari Nayla karena temannya satu itu punya daya analisis yang kuat, meski dalam bidang daya khayal Ganis tetap lebih unggul. Tapi sebanyak apa pun Ganis bertanya, Nayla hanya menyerukan satu jawaban: kenalilah Marky. Jawaban yang sangat mudah, tetapi sangat sulit Ganis lakukan. Ia selalu merasa mengenal Marky lebih dari siapapun melalui semua catatan dalam Kitab Cinta yang ditulisnya. Namun, semua itu hanya berdasarkan khayalannya semata dan pengamatan dengan sudut pandang yang dihiasi cinta sepihak. Padahal, belum tentu dalam dunia yang sebenarnya Marky itu seindah bayangannya. Hal inilah yang membuat Ganis selalu takut untuk sungguhan mengenal Marky. Ia takut Marky tidak tampak sempurna lagi di matanya. Takut menghadapi kenyataan bahwa Marky adalah manusia biasa dan bukanlah Dewa Cinta yang ia impikan.
“Jadi, kapan mau kenalan sama Marky?”
Pikiran Ganis langsung melayang membayangkan wajah Marky ada di hadapannya sambil mengulaskan sebuah senyum menenangkan. Setiap kali membayangkan senyum ini, hati Ganis langsung berdesir.
“Segera saat kesempatan itu datang. Kalau waktunya udah tepat, gue akan kejar dia sampai dapat!”
Hingga lima tahun berselang, tenyata kesempatan itu belum juga merapat.

to be continued...                                                                                   

A Long Way to the London Bridge: Chapter 1


SATU
Antara iri dan takjub              

“Kamu cantik banget sih, Bar?”
Ganis mengeluarkan sebongkah lap kanebo berwarna pink yang telah digunting dua, lalu menyibakkannya ke bodi motor matik berwarna pink metalik yang terparkir di halaman carport rumahnya. Di Sabtu pagi begini, sudah menjadi jadwal rutin bagi Ganis untuk berkencan dengan si motor yang diberi nama Barbara Pinky Candy Sholehah karena dirinya tak punya pacar. Menurut Ganis, Barbar – panggilan akrab Barbara – akan menjadi pacarnya yang paling setia karena 24 jam bisa dipastikan selalu berada di dekatnya. Saking dekatnya mereka berdua, Ganis bahkan rela mencoba untuk sehidup-semati dengan Barbar. Salah satunya adalah meniru kebiasaan Barbar, yaitu mandi seperlunya. Kalau tak ada urusan penting, mandi bisa di-pending. Dan hari ini, niat Ganis adalah mandi bersama Barbar setelah selama sebulan penuh Barbar dibiarkan mendamba hujan untuk memandikannya gratisan. Berarti momen mandi-mandian ini bisa dibilang untuk menjaga keharmonisan dan silaturahmi antara pekerja dan majikan, meski tak jelas siapa yang kerja untuk siapa.
“Kak Ganiiis, handphone lo bunyi, nih!” teriak Andhita dari balik dapur sembari menenteng ponsel Ganis yang berlapis silikon pink dengan wajah jijik. Ia berjingkat-jingkat perlahan mendekati Ganis yang masih asyik menggosok ban Barbar dengan penuh penghayatan. “Buruan diangkat! Dari Inggrid, tuh,” kata Andhita lagi.
Ganis serta-merta mendongakkan kepala dan mengernyitkan dahi. “Ah, seriusan lo?” Tanpa banyak ‘cing-cong’, Ganis langsung melonjak dan segera merampas ponselnya dari tangan sang adik setelah sebelumnya melempar kanebo ke sembarang arah. “Halo? Halo?”
“Helow?” Suara perempuan di seberang sana terdengar lembut.
Hello, this is Ganisya speaking. Are you Inggris? I mean you… you from England?
Suara di seberang telepon langsung berubah kaku. “Halo, Ganis?”
Yes! This is me, Ganisya Rahmadiani Hudianto. Are you from UK? England, England. Inggris itu lho, Mbak!” kata Ganis frustrasi, lantaran si lawan bicara tidak responsif.
“Inggris?? Inggris pale loe! Gue INGGRID! Gile, ya? Baru juga tiga bulan nggak kuliah, otak lo udah gawat tumpulnya. Buruan deh Nis, elo kerja. Jangan nganggur di rumah terus!” ujar Inggrid galak dengan gayanya yang sok tahu.
“Ng…”
Mendengar suara salah satu teman kuliahnya berbunyi di ujung telepon, wajah Ganis yang tadinya ceria langsung bermuram durja. Wajar. Sudah beberapa hari ini Ganis menunggu telepon interlokal dari Inggris untuk memberinya konfirmasi beberapa hal penting. Tidak tahunya, telepon pertama pagi ini hanya dari seekor makhluk sok penting yang tiba-tiba memporak-porandakan masa inkubasi Ganis selepas lulus kuliah.
Tuuut… tuuut… tuuut…
Ganis memutuskan sambungan telepon. Bete.
Tidak terasa, sudah tiga bulan ini Ganis jadi pengangguran tulen. Bukan karena belum mendapatkan pekerjaan, tetapi justru menghindari kerjaan. Menurutnya, ini pilihan hidup. Di saat teman-teman seangkatannya sibuk cari kerja setelah wisuda S1 untuk balik modal biaya kuliah, Ganis malah ongkang-ongkang kaki di rumah. Capek kerja, katanya. Maklum, selama ini sesungguhnya Ganis tidak pernah benar-benar menikmati masa kuliah karena ia menasbihkan diri sebagai mahasiswa mata duitan yang tak bisa menyia-nyiakan kesempatan mengais rezeki di masa muda penuh tenaga. Kalau cuma jual pulsa, kue subuh, kosmetik multi level marketing atau jadi calo tiket konser, jelas Ganis sudah khatam. Ia bahkan memanfaatkan Barbar untuk ngojek antar jemput temannya pulang-pergi dari kos ke kampus, jual jasa mengerjakan tugas mahasiswa tajir yang ke kampus cuma modal tampang, jadi tukang rias nikahan massal hingga jadi bintang reality show dan ‘banci’ kuis di TV. Semua Ganis jalani hanya untuk satu tujuan: ING…
“INGGRID LAGI?!” Ganis melotot melihat ponselnya bergetar hebat dan memampang nama temannya itu sekali lagi. “Halooo?? Ada apa sih, Nggrid?”
Terdengar suara Inggrid misuh-misuh. “Heh! Telepon gue kok diputus sembarangan, sih?? Gue kan belum ngomong apa-apa, Nis!”
Ganis menelan ludahnya malas. “Ya ampun! Maaf, ya? Gue lagi di pengajian, nih. Bentaran lagi ya, teleponnya?” bohong Ganis sembari menjauhkan ponselnya dari telinga dan berharap Inggrid tidak lantas menjerit-jerit protes.
Wuih! Sejak kapan lo ke pengajian? Jangan-jangan… lo ngeduluin Nitnit?” duga Inggrid curiga.
Mata Ganis memicing bingung. “Ngeduluin Nitnit apaan, sih?”
“Eh, lo! Masih ingat nggak sih sama geng PARJOK kita?”
JLEP!
Ganis mulai merasa topik yang dibawakan Inggrid tidak akan membuat mood-nya membaik setelah gugatan Inggrid atas pilihan hidupnya menjadi pengangguran.
“PARJOK? ‘Partai Jomblo Sedari Orok’ maksud lo? Hmm, iya gue nggak mungkin lupa. Kenapa?” tanya Ganis malas, tidak berminat.
Well, sebenarnya Ganis tidak suka jika harus mengungkit kenangan konyol mendirikan sebuah geng yang semua anggotanya adalah jomblo kronis seperti PARJOK ini. Dulu waktu masih mahasiswa baru, PARJOK jadi geng lucu-lucuan sekelompok cewek-cewek di jurusan Komunikasi yang punya track record menjomblo sedari bayi alias belum pernah pacaran sama sekali. Tetapi menjelang dewasa, apalagi setelah lulus kuliah, masih tergabung dalam geng ini adalah kisah yang memilukan. Masa iya, hampir empat tahun kuliah di kampus gaul dengan banyak cowok kece, belum ada satu pun di antara mereka yang mentas dari kubangan bernama JOMBLO?
“Huaaa! Gue panik, Nis! Nitnit dilamar oraaang!!” Teriakan Inggrid membahana.
“Haaah?!” Ganis ikutan histeris karena salah satu temannya di PARJOK disebut. “Kok bisa?! Kapaaan??” Wajah Nitnit yang sok imut mengenakan kebaya lamaran sudah melayang-layang di benaknya. Bikin Ganis ikutan kesal.
Inggrid berusaha mengatur napasnya yang kejar-kejaran. “Besok siang! Eh, kok lo teriak-teriak? Kan elo lagi di pengajian!”
Dengan cepat, Ganis mengeluarkan keahlian ‘bersulap’ lidah alias ‘ngeles’. “Ehe, iya. Ini pengajiannya di TV, kok. Terus, terus… gimana?!” serunya penasaran.
“Pfiuh! Sekarang lo buruan siap-siap ke Starbucks PIM (baca: Pondok Indah Mall) jam satu, ya? Please, be on time!
Ganis melongo. “Nitnit lamaran di Starbucks?”
“Bukan! Kita perlu rapat intern Parjokers untuk membahas AD/ART. See you!
Tuuut… tuuut… tuuut…
Dengan semena-mena, kali ini Inggrid yang memutuskan sambungan telepon.
Cool.
Ganis sukes dibuat tidak percaya dengan segala kenyataan yang menghadang. Belum sempat ia menikmati masa rehat kuliah dengan berleha-leha, kini Ganis malah harus menghadapi takdir bahwa ia bukanlah orang pertama yang lulus dari PARJOK. Entah ini penghinaan atau penyemangat, yang jelas Ganis kecewa. Rencana yang sudah disusun sejak empat tahun lalu itu benar-benar bukan rencana kacangan yang bisa ditikung seperti ini. Nitnit memang beruntung dilamar duluan, tetapi Ganis tahu ia tak bisa menunggu untuk keberuntungan yang sama.

 * * *

Starbucks PIM tidak ubahnya warung kopi pinggir jalan kalau sudah dipenuhi para ‘jomblowati seabad’ macam Parjokers. Bukan karena mereka gegilaan kopi seperti abang-abang pencandu begadang siang-malam, tetapi karena gosip dan ‘cit-cit-cuit’ mereka jauh lebih ramai daripada jumlah kopi yang mereka pesan. Sebenarnya jumlah Parjokers ada sebelas, tetapi yang bisa hadir siang ini hanya enam, dan yang memesan minuman hanya Inggrid dan Fathya. Sisanya? Opie tak bisa minum kopi, Dessy sedang diare, Jena diet caffeine dan Ganis bokek. Alhasil biar tak malu, mereka pura-pura membeli banyak minuman dengan cara memindahkan gelas-gelas kosong yang tak dibuang oleh meja sebelah ke meja mereka di pojok ruangan untuk sekadar jaga gengsi.
Setelah suasana aman, rapat PARJOK dimulai dan semua anggota sudah ribut dengan sendirinya. Sejujurnya Ganis tidak tahu maksud pertemuan mendadak ini. Tapi yang jelas, ia mendapati tatapan iri teman-teman se-gengnya ini sama kuatnya dengan dirinya. Ya, sama-sama tidak terima kalau sobat mereka yang sama-sama jomblo sejak lahir bernama Nitnit itu kini siap jadi istri orang.
Terus, kenapa? Memangnya Nitnit salah apa sampai PARJOK harus bikin rapat segala demi membahas acara lamaran dia? Panitia juga bukan. Jadi, situasi yang paling pantas untuk menggambarkan nuansa rapat kali ini adalah iri sekaligus takjub. Dua puluh dua tahun menjomblo bersama, jika seorang di antara mereka melepaskan diri, tentu menyulut reaksi dongkol berkepanjangan. Lantas kalau teman menikah duluan, apakah Parjokers lain lalu merasa tersinggung dan harus buru-buru menikah juga? Sarap!
“Sesuai perjanjian kita waktu kuliah dulu, orang pertama yang lolos dari PARJOK akan mendapatkan piala bergilir dan privilege berupa kejutan dari anggota yang masih aktif,” kata Fathya berusaha bersikap netral, meski sejujurnya hatinya terpecah-belah.
Jena menyela. “Kejutan apa? Kado bulan madu?”
“He?! Mahal amat! Mending pesta bujang. Sini, gue datangkan tuh artis-artis Korea favoritnya Nitnit, terus suruh nari-nari di depan kita!” sergah Ganis licik dan diam-diam mengeluarkan botol air mineral berbentuk infus berwarna pink dari dalam tasnya, lalu menenggak isinya sampai habis.
Mendengar itu, impuls Inggrid menyenggol lengan Ganis hingga tersedak. “Geblek! Siapa juga yang mau ngadoin begituan? Kita bikin kejutan aja di resepsi nanti dengan bawa pacar masing-masing.”
Semua sontak mangap. “PACAR?”
Gara-gara teriakan itu, mereka kini sukses dilirik sinis para pelanggan Starbucks di meja sebelah yang terganggu dengan ke-‘lebay’-an para Parjokers.
Dasar cewek-cewek nggak punya adab.
“Etdah! Beli di mana, gue?” Jena berteriak histeris seakan yang panik akan ke-‘tidakpunyaan’-nya itu cuma dia. Padahal, semua pun merasakan kegalauan yang sama.
Opie angkat bicara. “Sembarangan lu, Nggrid! Kecengan aja masih mendamba. Mana disuruh bawa pacar pula? Alamat gue nggak datang aja, deh.”
Sambil menahan sakit di perutnya gara-gara masih diare, Dessy memberikan saran. “Eh, sandiwara aja, yuk! Kayak di film Korea. Jadi, kita pinjem cowok orang atau siapa aja yang bisa digandeng. Pokoknya yang penting Nitnit senang kalau lihat kita senang juga,” celetuk Dessy dengan tampang datar dan berkata ‘mustahil’ kepada dirinya sendiri.
Mendengar saran yang sama sekali tidak memberikan solusi semacam itu, Parjokers sibuk memutar otak. Wajah mereka kompakan jadi kusut seperti tengah ikut ujian SPMB. Tapi ternyata di saat yang lainnya gusar, Ganis malah berusaha meningkatkan semangat ke dirinya sendiri dan merasa masih punya harapan.
By the way, nikahannya kapan, sih? Bentar lagi ya?” tanya Ganis polos.
Tatapan Inggrid menelisik. “Lamaran besok, nikahnya katanya bulan Agustus. Tuh kan, sekarang udah Mei. Apa kabar kita semua??” sembur Inggrid panik. Ia menyeruput caramel latte-nya hingga habis dan mengelap mulutnya cadas.
Seperti tanpa beban, Ganis menghela napasnya mendalam dan penuh determinasi seakan hendak menunjukkan energi yang ia miliki. “Oke. I will.”
“MAKSUDNYA??”
Para Parjokers di meja mereka mangap mendengar kalimat terakhir Ganis.
Hening.
Bukannya menjawab, Ganis justru cengar-cengir sambil terdiam dalam beku. Baginya, mengungkit lagi soal kisah-kasihnya tujuh tahun lalu di saat ‘hidup dan mati’ para jomblo ditentukan begini, bukanlah merupakan pilihan tepat. Bisa jadi, teman-teman se-gengnya nanti malah mati-matian menenggak kopi supaya terjaga untuk terus mendengarkan alunan dongeng dari mulut Ganis yang mengiris hati.
Next week, gue akan menjalankankan misi London Calling yang waktu dulu pernah gue ceritain ke kalian,” ucap Ganis penuh teka-teki. Tatapannya menghambur ke seluruh Parjokers dan sengaja memberikan ruang bertanya di sana.
“Hah?”
Tak ada seorang pun di antara Parjokers yang mengerti dengan ocehan Ganis barusan. Meski terdengar optimis, bagi mereka itu meaningless. Setidaknyajika dikaitkan dengan kebiasaan Ganis mengumbar guyonan garing hanya untuk ditertawakan oleh para Parjokers yang gemar bicara cablak.
I’ll backpacking… to London,” lanjut Ganis sok diplomatis.
“Ng…??”
Sudah capek-capek memilih padanan kata yang dramatis, nyatanya Parjokers masih tidak nyambung juga. Dikiranya Ganis masih mencoba nge-‘garing’.
“Coba lagi ya, Nis! Hehe.” Jena menepuk pundak Ganis dan menyuruh temannya itu mencoba sekali lagi dengan banyolan yang lebih tinggi nilai humornya.
Barulah ketika Ganis mengeluarkan open ticket pesawat Jakarta-London untuk Rabu depan dari dalam ransel Jansport warna toska miliknya, Parjokers mulai histeris. Tiket pesawat – yang sudah ia pesan jauh-jauh hari dan tadi baru saja diambil di travel agent – itu  dibawa keliling ke seluruh Parjokers dan masing-masing dari mereka mantap menganga sambil jerit-jerit frustrasi. Jelas Ganis bengong. Ia kan hanya menunjukkan sebuah tiket pesawat, bukan sebuah undangan pernikahan layaknya Nitnit. Tetapi, mengapa reaksi Parjokers justru lebih galau dari sekadar mendapat ‘tugas’ untuk mencari pacar?
Ternyata jawabannya adalah: mereka tak terima bahwa Ganis ‘si pengangguran’ bisa punya bujet untuk traveling ke salah satu kota yang dikenal paling mahal di dunia itu!
Saking tak percayanya, Jena bahkan menduga Ganis baru saja mendapat warisan. Belum lagi Fathya yang curiga bahwa Ganis memang sengaja mau menjadi TKW, makanya ogah melamar kerja ke perusahaan di Indonesia. Tapi anehnya, Opie dan Dessy justru menyangka Ganis baru saja menelan pil koplo lantaran misi pergi ke London tak ada hubungannya dengan mencari pacar.
Oke, sampai di sini Ganis speechless. Tapi sepertinya ia harus buru-buru buka suara untuk menanggapi kekesalan Inggrid, si biang ‘rempong’ yang tak ada duanya.
“Terus? Ada keajaiban apa tiba-tiba lo ke London? Bacpacking pula! Bukannya susah ya, Nis? Kita aja mau backpacking-an ke Raja Ampat nggak jadi-jadi gara-gara nggak ada duit. Lagi pula, elo kan…” pengangguran, Inggrid melanjutkan dalam hati.
Mendengar ini, Ganis hendak mengalihkan bahan pembicaraan. “Eh, nggak jadi ngomongin soal Nitnit lagi? Kita kan rapat buat…”
“SSSTTT!!” Fathya mendesis galak. Tidak ingin diinterupsi. “Ceritain dulu London-London lo itu! Bikin ‘kepo’ aja. Buruan!”
Tawa Ganis kemudian merekah, bertolak belakang dengan ucapannya yang mulai membuat ingatan Parjokers melayang pada insiden tiga tahun lalu.
“Ingat Kitab Cinta yang gue bawa waktu Dasteran Party di rumah Opie pas semester tiga?” Nada suara Ganis melemah, tapi senyumnya tak pernah lepas. Seakan ingin menguatkan hatinya yang mulai ternoda dengan segores luka lama.
Parjokers saling berpandangan. Entah mengapa suasana rusuh yang terbangun tadi, kini malah menjadi sendu. Ganis pun melanjutkan dongengnya karena semua orang tak percaya ia punya rencana besar selain sekadar melancong (baca: menggelandang) ke London.
FYI, I’ll never forget that ‘damn’ handsome Italian guy for all my life.”
Seiring genderang dibunyikan, Parjokers tak akan bisa menghentikan guliran kisah ini mengalir penuh daya. Bahkan, Ganis pun tidak sama sekali.



* * *
to be continued...