I got a lot of friends in the past 4 years. Bukan cuma teman dalam arti kata manusia yang sesungguhnya. Tapi teman sejati menurut gue adalah siapa yang menemani gue di saat suka dan duka. Then, the answer is my own vehicle! Tadaaaa! Kalo bagi orang lain kendaraan itu cuma ada di saat mereka butuh pergi dari satu tempat ke tempat lain, kalo menurut gue sih gitu juga. Haha. Gue gak secinta itu ngurusin kendaraan gue sampe rela gak tidur demi dia, mandiin dia sementara gue belum mandi, nganterin ke salon, atau nyemir doi di saat gue pun gak terpoles make up sama sekali. Hello! Walaupun gue jahat sama kendaraan gue, tapi gue tuh cinta sama dia. Gue cinta! Lebay? Yes. Cinta nggak harus ditunjukkan oleh kata-kata, nggak juga harus selalu dilihat pake aksi nyata. Cinta hanya butuh pengorbanan. Nggak intelek banget bahasa gue. Nggak intelek banget juga perasaan gue.
Then, gue pertama kali punya kendaraan sendiri mungkin pas balita. Pertama kali itu sepatu cit-cit-cuit yang bisa bunyi dan nyala-nyala. Damn. Nggak usah diceritain. Gue pernah lihat waktu umur tiga tahun gue naik skateboard. Tapi gue sih curiga itu bukan punya gue. Secara the way of gue menaikinya benar-benar gak elegan. Alih-alih gue naik dengan gagah (umur tiga tahun dan gagah itu bukan padanan kata yang indah), gue cuma duduk di atasnya, lantas ditarik pake sepeda sepupu gue. Terus muka sepupu gue ceria banget seakan gue adalah barang belanjaan yang dia bawa abis dari pasar. Dan herannya, gue masih sempat bawa-bawa boneka yang namanya 'Boneka Coret' gara-gara sekujur mukanya gue coret pake pensil.
Kendaraan ke-2 gue, bisa dipastikan adalah sepeda. Gue rasa sepeda roda empat sih. Warnanya pink. Rodanya putih.
I love pink, riding Vespa, traveling, writing, singing, movie, make up, eating. Ouch! It's too much like I want to apply for a job. Ha! Kidding :p
Rabu, 09 Oktober 2013
The lost sister has comeback!
Hello!
I'm so tired to stop writing at the moment because I love love love it so much! Yippie!
Setelah mengumpulkan sejuta semangat untuk balik lagi nulis, akhirnya gue sadar kalau menulis adalah salah satu hal yang membuat gue sangat 'hidup' melebihi kehidupan gue sendiri --> absurd: mode on!
Am I crazy? YES! Absolutely.
Gue cuma nggak bisa tahan diem aja kalo mengalami suatu kejadian penting, terus cuma gue kenang-kenang sendiri tanpa gue tulis. Yah namanya juga manusia, pasti punya kebiasaan buruk bernama LUPA. Well, sebenarnya menulis blog sekarang ini bisa jadi prioritas gue yang agak utama. Pasalnya, profesi gue yang sekarang mengharuskan gue berinteraksi dengan dunia digital jauh lebih dalam dari biasanya (berasa kena hipnotis Rommy Rafael). Dan apakah profesi gue sekarang ini adalah pembuat blog? NO! Desainer blog? Apalagi... Gue adalah seseorang yang iri pada blogger yang bisa menuangkan inspirasi dan cerita hidup mereka yang memotivasi orang lain, lantas menghasilkan uang yang nggak sedikit jumlahnya (ujung-ujungnya kematrean gue nggak dapat dihindarkan).
Siapa pula yang nggak tertarik dengan profesi unyu-unyu itu? Gue punya temen, dulunya cuma doyan main lari-larian di kelas dan berantem-beranteman gak jelas. Sampe gue lupa, dia itu temen gue dari mana. Dan ternyata, ketika besar dia sukses jadi stand up comedian dan bisa menghasilkan uang banyak dari profesinya sebagai twitter influencer. Cuma ngetwit-ngetwit doang, sambil gegoleran di lantai, setengah merem main2 hape, dibayar bo! Eh, tapi dia bukan blogger ya? ---> skip aja tulisan ini
Dan sebenarnya, beberapa bulan belakangan ini ketika gue lagi gak ada kerjaan (pak bos, jangan iri kalo gue gak ada kerjaan, terus ngasih gue kerjaan berlimpah biar sama rata, karena harkat martabat antara laki-laki dan perempuan sejatinya tentu berbeda), gue biasanya blog walking. Ini adalah kegiatan menyenangkan yang sangat gratis (memanfaatkan internet kantor yang cepet banget sampe bisa download satu drama Korea sepanjang 16 episode dalam 1 hari), dan menambah wawasan yang amat mendalam. Biasanya gue baca blog traveling, make up, kadang juga review film dan produk elektronik. Nah, dari situ gue mulai mendefinisikan kecintaan gue dan spesialisasi gue sebenarnya apa buat ditulis di blog. Dan apakah gue sudah mendapatkan jawabannya? Ternyata enggak juga. Gue terlalu banyak berharap.
I'm so tired to stop writing at the moment because I love love love it so much! Yippie!
Setelah mengumpulkan sejuta semangat untuk balik lagi nulis, akhirnya gue sadar kalau menulis adalah salah satu hal yang membuat gue sangat 'hidup' melebihi kehidupan gue sendiri --> absurd: mode on!
Am I crazy? YES! Absolutely.
Gue cuma nggak bisa tahan diem aja kalo mengalami suatu kejadian penting, terus cuma gue kenang-kenang sendiri tanpa gue tulis. Yah namanya juga manusia, pasti punya kebiasaan buruk bernama LUPA. Well, sebenarnya menulis blog sekarang ini bisa jadi prioritas gue yang agak utama. Pasalnya, profesi gue yang sekarang mengharuskan gue berinteraksi dengan dunia digital jauh lebih dalam dari biasanya (berasa kena hipnotis Rommy Rafael). Dan apakah profesi gue sekarang ini adalah pembuat blog? NO! Desainer blog? Apalagi... Gue adalah seseorang yang iri pada blogger yang bisa menuangkan inspirasi dan cerita hidup mereka yang memotivasi orang lain, lantas menghasilkan uang yang nggak sedikit jumlahnya (ujung-ujungnya kematrean gue nggak dapat dihindarkan).
Siapa pula yang nggak tertarik dengan profesi unyu-unyu itu? Gue punya temen, dulunya cuma doyan main lari-larian di kelas dan berantem-beranteman gak jelas. Sampe gue lupa, dia itu temen gue dari mana. Dan ternyata, ketika besar dia sukses jadi stand up comedian dan bisa menghasilkan uang banyak dari profesinya sebagai twitter influencer. Cuma ngetwit-ngetwit doang, sambil gegoleran di lantai, setengah merem main2 hape, dibayar bo! Eh, tapi dia bukan blogger ya? ---> skip aja tulisan ini
Dan sebenarnya, beberapa bulan belakangan ini ketika gue lagi gak ada kerjaan (pak bos, jangan iri kalo gue gak ada kerjaan, terus ngasih gue kerjaan berlimpah biar sama rata, karena harkat martabat antara laki-laki dan perempuan sejatinya tentu berbeda), gue biasanya blog walking. Ini adalah kegiatan menyenangkan yang sangat gratis (memanfaatkan internet kantor yang cepet banget sampe bisa download satu drama Korea sepanjang 16 episode dalam 1 hari), dan menambah wawasan yang amat mendalam. Biasanya gue baca blog traveling, make up, kadang juga review film dan produk elektronik. Nah, dari situ gue mulai mendefinisikan kecintaan gue dan spesialisasi gue sebenarnya apa buat ditulis di blog. Dan apakah gue sudah mendapatkan jawabannya? Ternyata enggak juga. Gue terlalu banyak berharap.
A Long Way to the London Bridge: Chapter 2
DUA
Datang dari masa lalu
Ganis
ingat betul pertama kali benar-benar jatuh cinta ketika baru saja mendudukkan
diri tiga hari di bangku SMA. Saat itu, sebagai siswa kelas satu yang beranjak
puber dan berusaha mengenal lawan jenis dalam intensi percintaan, Ganis dan teman-temannya
sepakat berburu kakak kelas kece di sekolah yang dipercaya sebagai tempat di
mana banyak kisah cinta manis penuh kenangan bermula. Sejak hari pertama masuk
SMA, Ganis sudah mencoba memilih-milih kakak kelas mana yang akan diburunya
jadi gebetan kelak. Mulai dari anak basket, anak bola, anak taekwondo, anak
OSIS, sampai anak ROHIS (baca: Rohani Islam) yang dianggap sebagai tempat
paling tepat mencari calon suami saleh dari SMA. Tapi entah mengapa, intuisinya
hanya mengejar satu nama.
Waktu
itu Juli 2005.
Matahari
sedang terik-teriknya membakar bumi. Tak banyak yang bisa dilakukan para siswa
baru selain berdoa agar tak gosong dijemur panitia Masa Orientasi Siswa (MOS)
di lapangan upacara demi menonton persembahan seni dari tiap perwakilan kelas
satu. Kebetulan kelas Ganis tampil pertama ketika masih pagi, jadi sisa waktu pertunjukan
kebanyakan dihabiskan anggota kelas itu untuk menutupi wajah dengan handuk,
kertas atau apa pun itu yang bisa melindungi wajah mereka dari sengatan
matahari. Oke, jadi tidak satupun teman sekelas Ganis berhasil menjalankan misi
mencari gebetan di saat-saat genting seperti ini karena gagal menebar pesona
mereka di balik tameng anti panas.
Meskipun
begitu, beberapa siswa laki-laki di kelasnya masih menyempatkan diri untuk
memberi semangat kepada siswi kelas tetangga yang jadi idola instan karena
kecantikannya memancar jelas dari jarak lima puluh meter sekalipun. Bahkan,
kakak kelas cowok pun tak segan-segan bersorak dan menyebut-nyebut kata
‘celana’ dengan keras. Walau aneh, Ganis mendengarnya demikian. Matanya
memicing dan tak melihat ada yang mencurigakan dari siswi berambut panjang
berwarna brunette dengan kulit putih
kemerahan yang mirip bule itu. Tak ada celana melorot, celana kedodoran atau
celana terbalik. Lalu, mengapa seisi sekolah heboh meneriakkan kata yang sama?
Tak mau ketinggalan zaman, Ganis pun ikut berteriak.
“Celana!
Celana!”
Tiba-tiba
seorang teman sekelasnya menyenggol lengan Ganis dan membisikinya keras.
“Namanya Elana, Nis! Bukan celana!”
Oke,
Ganis sudah kehilangan muka dan setelah itu tak mau lagi terlibat dengan segala
jenis pertunjukan anak kelas satu yang mampir di hadapannya. Bahkan, ketika Ares
–siswa baru paling tampan seangkatan – manggung main gitar menyanyikan lagu ‘This
Love’-nya Maroon 5 dan mendapat sambutan meriah dari kakak kelas cewek, Ganis
sudah terlelap di balik handuk putihnya. Berusaha menjauhi matahari dan ingar-bingar
Masa Orientasi Sekolah yang tak semanis bayangannya.
“Nis,
mau demo ekskul, nih. Bangun! Banyak kakak kelas ganteng unjuk gigi, lho!” kata
teman Ganis yang ada di sebelahnya. Mereka sudah janjian untuk cari gebetan
bareng di acara ini sebagai penyemangat memulai masa SMA yang terkenal sangat
indah.
Kepala
Ganis sedang miring sebelah saat seseorang menyenggolnya agar membuka mata.
“Ganis! Anak basket lho abis ini yang tampil. Gue dengar ada yang namanya
Rasyad. Orangnya ganteng gila! Dulunya pernah ikut klub profesional junior.”
Terdengar
bunyi deham pelan dari balik handuk Ganis. “Hmm, gue tunggu anak bola aja, deh.
Basket udah pasti banyak yang ngegebet.”
Giliran
anak ekskul bola tampil, Ganis justru sedang asyik menempelkan wajahnya ke
lututnya yang ditekuk. Mencoba mencari sandaran yang lebih mantap dari sekadar
bahunya yang mulai pegal.
“Woy,
ini ekskul bola lagi main. Sumpah! Kakak yang jadi kiper itu manis banget. Elo
nggak mau lihat?”
Ganis
menggeleng pelan. “Udah, buat lo aja. Gue nanti deh, pas anak ROHIS.”
Berhubung
ROHIS itu bukan ekskul melainkan organisasi, para anggotanya pun tak tampil
terang-terangan unjuk kebolehan di lapangan hanya untuk menjaring anggota.
Jadi, harapan Ganis untuk ‘belanja’ kakak kelas saleh musnah sudah sekalipun ia
nekat membuka mata untuk pertama kalinya sejak sesi demo ekskul dimulai. Apa
mau dikata, memejamkan mata lagi tidak mungkin karena ternyata ekskul yang
tampil selanjutnya benar-benar membuat mata Ganis melotot dan sulit untuk
berkedip.
Capoeira?? Sekolah macam apa punya
ekskul kayak gini?
Musik
berirama latin serta-merta berkumandang melalui speaker yang terpasang di berbagai sisi gedung sekolah. Sekelompok
siswa mulai melakukan gerakan martial art
khas Amerika Latin dan menghanyutkan semua orang dengan keindahan koreografi
mereka yang penuh semangat. Beberapa dari mereka bergoyang, menari dan saling
menyerang dalam pola gerakan yang indah seperti halnya penari capoeira sungguhan. Nyaris tanpa cela.
Saat
menikmati penampilan itu, Ganis sadar ia tak bisa bernapas dengan benar.
Sekalipun kadang ia masih bisa mendengar para siswi riuh memanggil-manggil
sosok pemuda tampan yang baru saja melakukan gerakan akrobatik di atas tubuh
anggota capoeira yang lain, Ganis
paham betul tubuhnya kini sedang tidak berada pada kondisi normal. Seketika
panas matahari menyebar turun dari kepalanya menuju wajah. Menghantarkan
kobaran yang tidak pernah bisa Ganis hentikan. Ia tahu ini mungkin gejala heatstroke karena kepalanya terlalu lama
berada di bawah sinar matahari langsung. Tetapi agaknya Ganismerasa lebih pas
menyebut ini heartstroke sejak
jantungnya berdegup kencang menantang tatapan tajam pemuda itu. Seorang siswa
kelas dua berwajah latin yang memperkenalkan diri sebagai ketua ekskul capoeira sesaat setelah menyelesaikan
demonya.
“Kalau
mau gabung, bisa datang ke kelas saya di 2 IPS 1. Langsung ketemu saya, Marky atau
ke 2 IPA 2 ketemu Randy. Terima kasih.”
Damn!
Ganis
langsung tahu ia jatuh cinta dengan yang namanya Marky.
Bagi
Ganis, Marky itu Dewa Cinta.
Hampir
tak ada perempuan yang bisa menolak pesonanya sekalipun Ganis yakin Marky bukan
tipe cowok keren yang haus popularitas. Tanpa perlu banyak gaya, Marky bisa
saja dengan mudah menundukkan lawan jenis. Tubuh atletis karena rajin olahraga
ditambah wajah latin percampuran antara Italia dan Jawa yang selalu tampak
‘cowok banget’, berhasil memikat banyak perempuan di sekolah. Tak terkecuali
Elana, si primadona sekolah yang terkenal karena sering wara-wiri di berbagai
majalah sebagai fotomodel dan anak pengacara handal. Meski sudah ‘ditembak’
tujuh cowok berbeda dalam satu semester, anehnya Elana tetap tak berhenti
mengincar Marky.
Singkat
cerita, Marky pantas dipuja wanita. Tak hanya karena keindahan fisiknya saja yang
memukau, secara prestasi pun ia cukup menjanjikan. Selain jago olahraga, dalam
pelajaran sekolah nilainya cukup memuaskan. Belum lagi aktif organisasi ini-itu
baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Sikapnya pun dikenal ramah, rendah
hati dan penolong sehingga banyak orang ingin menjadi temannya. Berdasarkan semua
kualifikasi itu, Ganis memutuskan bahwa Marky lebih dari sekadar calon suami
idaman, tetapi Marky adalah cinta sejatinya. Entah apa tolok ukurnya, Ganis yakin
betul Marky adalah jodoh yang dikirimkan Tuhan untuknya.
Keyakinan
itu lantas membuat hari-hari SMA Ganis selalu dipenuhi keceriaan tanpa batas
sejak melihat Marky pada hari ke-3 di sekolah. Tawanya selalu merekah setiap
kali menjejakkan kaki di gerbang sekolah dan tak pernah terburu-buru ingin
meninggalkannya, meski penjaga sekolah kerap kali mengusir Ganis untuk pulang
tepat waktu. Selain itu, Ganis juga nyaris tak pernah datang terlambat dan stand by di balkon kelasnya pada pukul tujuh
kurang lima belas untuk menjadi saksi mata adegan Marky memasuki kelasnya di
lantai dua yang tepat berseberangan dengan kelas Ganis di lantai tiga. Bagi
Ganis, adanya lapangan basket yang memisahkan keberadaan mereka saat jam
pelajaran, sama sekali tidak menghalangi koneksi batin antara dirinya dan
Marky. Buktinya, dalam sehari ia bisa bertemu Marky beberapa kali di berbagai
sudut sekolah mereka yang amat luas, meski tidak janjian sebelumnya. Ya, mana
bisa janjian kalau berkenalan pun tidak pernah?
“Gue
malu, Nay. Kalau disuruh saingan sama cewek rakyat jelata juga, gue sih siap di
jajaran terdepan! Tapi kalau saingan gue cewek yang cantiknya berlebihan kayak
Elana, gue udah kalah telak di medan perang. Mending pakai strategi gerilya aja
yang masih bisa nikung dari belakang dan nyelamatin muka gue di depan lawan,”
tukas Ganis suatu kali saat teman sebangkunya, Nayla, meminta Ganis untuk
berhenti mengagumi Marky dari jauh dan mulai melakukan pendekatan secara
terang-terangan agar tidak disalip oleh Elana.
Oleh
sebab itu, strategi perang diam-diam a la Ganis sudah rapi disusun dalam sebuah
buku diary bernama Kitab Cinta.
Isinya tak lain adalah setiap momen berharganya bertemu dengan Marky, meski tak
sepatah katapun pernah terlontar secara langsung di antara mereka. Ganis tahu,
satu-satunya cara agar tetap menjaga kesempatan untuk dekat dengan Marky tanpa
takut dicela adalah menjadi seorang stalker.
Ia menguntit Marky ke manapun pergi di lingkungan sekolah dan menuliskannya
dalam Kitab Cinta. Mulai dari biodata lengkap, hobi, kebiasaannya ketika
istirahat, makanan favorit, teman sepermainan, kegiatan di luar sekolah,
pelajaran yang disukai, nomor ujian, nomor sepatu, nomor ponsel, akun Friendster, alamat rumah hingga pelat nomor motor bebek yang selalu setia mengantar
cowok itu ke sekolah sudah lengkap dicatat Ganis. Saking tak ingin kehilangan
momen catat-mencatatnya, Ganis bahkan rela datang ke sekolah di hari Sabtu –
meski dirinya libur – hanya untuk memantau perkembangan Marky latihan capoeira. Itulah mengapa, bagi Ganis
hari libur sekolah adalah penderitaan karena mengurangi waktunya untuk bisa
bertemu Marky.
Demi
Tuhan, Marky memang benar-benar membuat Ganis kehilangan kewarasan.
Siang,
sekitar awal 2006.
“Ganisyong,
ada pertandingan bola antar angkatan, nih! Nonton yuk pas jam istirahat makan
siang! Yang main kelasnya Kak Rey, lho,” lontar Nayla kencang. Ia dan Ganis
memang terbiasa merumpi tentang kakak kelas rupawan. Tetapi mereka tak pernah
membahas Marky terang-terangan karena Ganis sudah keburu ‘menyegel’ mulut Nayla
agar tak membicarakan apa pun yang negatif tentang pujaan hatinya.
“Nggak
minat sama Kak Rey. Kayak playboy.
Senyum sana-sini mirip salesman,”
balas Ganis sambil membuka majalah yang memampang wajah Elana sebagai
sampulnya.
Nayla
melemparkan buntelan kertas ke wajah Ganis. “Yaelah. Gue tahu elo sukanya sama
si Itali gambreng itu. Tapi jangan ngata-ngatain idola gue playboy, dong! Memangnya ‘Si Sepidol’ nggak playboy? Ganteng gitu masa nggak punya pacar?” seru Nayla curiga.
Ia selalu menyebut Marky dengan julukan ‘Si Sepidol’ karena baginya nama
gebetan Ganis itu mirip sebuah merek spidol terkenal.
Ganis
mendengus pelan. “Tenang, dia masih jomblo. Nungguin gue kayaknya. Bahkan, ‘Si
Celana’ aja nggak bisa nundukkin dia. Berarti posisi gue aman,” kata Ganis
sembari menaikkan kedua alisnya genit.
“Wait! Kalau Elana
yang cantik-tajir-seksi gitu aja nggak dilirik, gimana elo?”
JEDUG!
Tanpa
aba-aba, Ganis sudah menggetok kepala Nayla dengan majalahnya. “Heh! Kecengan
gue nggak mudah terpikat sama cewek modal duniawi kayak Elana.”
“Jadi,
maksud lo Marky cari cewek yang berorientasi akhirat kayak elo gitu? Lebih
nggak mungkin lagi. Pantesan dia jomblo. Sebenarnya dia itu cowok normal nggak,
sih?”
Tanpa
aba-aba, Ganis langsung membungkam mulut Nayla yang ‘celamitan’ dengan tisu.
Takut ada teman-teman lain yang mendengar siapa objek yang sedang mereka
bicarakan. Padahal, Ganis sudah mati-matian merahasiakan statusnya sebagai
pemuja Marky karena tak mau dicibir rakyat SMA-nya sebagai ‘Babu merindukan
Tuan’. Bisa kelam sisa masa SMA-nya nanti. Tapi kalau dipikir-pikir, kecurigaan
Nayla ada benarnya juga. Mengapa hampir setahun Ganis satu sekolah dengannya,
Marky tak pernah sekalipun terlihat mendekati seorang perempuan? Jaga image? Jaga diri? Jaga gengsi? Jaga
standar yang ketinggian?
Atau…
“Dia
normal, kok. Gue yang akan buktiin,” tukas Ganis mengakhiri percakapan dan
sukses membuat Nayla menganga selebar-lebarnya.
Awal
2007. Marky sudah kelas tiga.
Hampir
tidak terhitung lagi kejadian apa saja yang sudah Ganis catat dalam Kitab Cinta
selama nyaris dua tahun belakangan. Bahkan, sekarang setiap catatan ditambahkan
dengan selipan foto candid yang
diambil dari kamera ponsel semenjak Ganis ketahuan petugas tata usaha sedang
berusaha mencomot pas foto Marky yang menjadi dokumen administrasi sekolah. Jadi,
biar aman Ganis melakukan dokumentasi pribadi untuk melengkapi data agar tambah
akurat. Meskipun hasil fotonya jelek, toh ketampanan wajah eksotis Marky tidak
pernah terbantahkan. Setidaknya, bagi Ganis yang selalu menjerit-jerit begitu
berhasil menangkap sosok Marky melalui kameranya.
Pertengahan
Februari, musim ujian pun sudah dimulai. Itu pertanda sudah waktunya Ganis mengubah
strategi gerilya menjadi emansipasi wanita sebelum Marky benar-benar lulus SMA.
Setidaknya, Ganis harus mulai pensiun jadi pengagum rahasia dan muncul ke
permukaan agar memberikan kesan mendalam pada Marky sebelum perpisahan
menjelang. Ganis tahu ini sangat berat. Selama ini ia tidak pernah punya cukup
keberanian untuk menampakkan diri di hadapan Marky dalam dunia nyata,
dan hanya mampu mengangankan Marky dari alam bawah sadarnya. Tapi, percobaan
harus tetap dilaksanakan sekalipun semuanya mengalami kegagalan total.
Dimulai
dari kue Valentine yang Ganis selipkan khusus di laci meja
Marky saat masih pagi buta, justru berakhir di perut teman sebangku Marky yang
kelaparan. Belum lagi kartu ucapan handmade
yang menampilkan karikatur wajah Marky dalam ekspresi boyish yang selama ini Ganis perhatikan, sukses ditertawakan teman
sekelas Marky karena dianggap gayish alias
mirip gay gara-gara bentuk badannya
dalam gambar itu terlalu berotot. Tidak hanya sampai di situ. Kado ulang tahun
Marky yang oleh Ganis dibungkus tas plastik keresek warna hitam dan
digantungkan di motor bebek Marky sebelum jam pulang sekolah agar tidak
mencurigakan, nyatanya malah dikira bom oleh satu sekolahan. Akibatnya, kado
itu ditinggalkan pemiliknya dan tak pernah disentuh lagi hingga akhirnya
dipungut oleh satpam, dan sukses menghunjam bak sampah.
Sampai
di sini, tadinya Ganis ingin menyerah. Namun, dukungan Nayla membuat Ganis
tahan malu. Ia menggunakan bakat terpendamnya sebagai penulis fiksi untuk
mengarang sebuah cerita bersambung di mading sekolah dengan deskripsi tokoh
utama persis Marky dan dirinya. Tapi nama tokoh dan penulis tetap disamarkan,
meski kebanyakan orang yang membacanya telah sadar tokoh utama pria dalam
cerita itu adalah Marky. Akibatnya, para siswa dan guru kompak menduga ada
seorang siswi yang punya penyakit obsesi cinta kronis, lalu
nekat curhat di mading untuk misi ‘penembakan’ tidak bertanggung jawab. Baru
sampai empat jilid dimuat, cerita bersambung itu dicopot paksa oleh massa.
Oke,
semua senjata Ganis luluh lantak ‘dibumi-hanguskan’ oleh warga sekolah.
“Aduh,
gue udah nggak bisa lagi nyoba terang-terangan bilang suka sama dia. Udah nggak
punya muka nih gue,” kata Ganis di sela-sela jam istirahat di kantin. Ia
mengaduk kuah mie ayam sambil menguap malas karena udara mendung langsung
membuatnya mengantuk.
“Masa
baru gini udah nyerah?” tukas Nayla sambil meminum jus di sebelah Ganis.
“Katanya lo serius cinta sama dia? Lo yakin nggak mau bilang sampai kapanpun
juga? Bentar lagi doi lulus, lho. Jangan sampai entar lo menyesal nggak bisa
ketemu dia lagi!”
Pandangan
Ganis menerawang menuju lapangan basket yang bersebelahan dengan kantin. Di
sana ada Marky yang cuek makan bakso sambil sesekali menendang bola dari
pinggir lapangan. Aura boyish-nya
selalu berhasil memikat Ganis dari jarak berapa pun.
“Iya juga, sih. Gue pengen kenal dia, pengen akrab, pengen
jalan bareng ngabisin waktu sama dia. Tapi gue nggak pede, Nay. Kalau bicara
aliran kebatinan, gue sama dia punya chemistry
bawah sadar yang menakjubkan. Jantung gue selalu bergetar kalau merasa dia itu
ada di dekat gue. Tapi kalau udah digeser ke kehidupan nyata, benar-benar nggak
nyambung. Lihat aja, latar belakang kita berdua udah beda. Kasta, tampang,
popularitas, prestasi dan pergaulan gue sama dia udah kayak babu sama tuan.
Beda rating.”
“Level,
kali! Lo pikir kalian berdua acara TV? Udah deh, lo tuh kebanyakan
pertimbangan. Nggak usah gengsi. Masa dua tahun suka sama orang, sama sekali
nggak ada kemajuan kayak gini? Mana nggak kenal orangnya pula!” protes Nayla.
Alis
Ganis berkerut, mencoba introspeksi diri. “Benar sih, Nay. Terus, gue harus
gimana? Ngajak kenalan dia? Ah, tapi gue takut ditolak. Gue nggak mau patah
hati!” rengek Ganis seperti anak kecil sedang merajuk minta dibelikan mainan.
“Eh,
cuma kenalan doang nggak mungkin ditolak. Pelan-pelan aja dulu. Jangan langsung
tembak. Biar dia nggak serem sama lo,” ucap Nayla yang ditanggapi Ganis dengan
anggukan mantap.
Selama
ini Ganis selalu meminta petuah dari Nayla karena temannya satu itu punya daya
analisis yang kuat, meski dalam bidang daya khayal Ganis tetap lebih unggul.
Tapi sebanyak apa pun Ganis bertanya, Nayla hanya menyerukan satu jawaban:
kenalilah Marky. Jawaban yang sangat mudah, tetapi sangat sulit Ganis lakukan.
Ia selalu merasa mengenal Marky lebih dari siapapun melalui semua catatan dalam
Kitab Cinta yang ditulisnya. Namun, semua itu hanya berdasarkan khayalannya
semata dan pengamatan dengan sudut pandang yang dihiasi cinta sepihak. Padahal,
belum tentu dalam dunia yang sebenarnya Marky itu seindah bayangannya. Hal
inilah yang membuat Ganis selalu takut untuk sungguhan mengenal Marky. Ia takut
Marky tidak tampak sempurna lagi di matanya. Takut menghadapi kenyataan bahwa
Marky adalah manusia biasa dan bukanlah Dewa Cinta yang ia impikan.
“Jadi,
kapan mau kenalan sama Marky?”
Pikiran
Ganis langsung melayang membayangkan wajah Marky ada di hadapannya sambil
mengulaskan sebuah senyum menenangkan. Setiap kali membayangkan senyum ini,
hati Ganis langsung berdesir.
“Segera
saat kesempatan itu datang. Kalau waktunya udah tepat, gue akan kejar dia
sampai dapat!”
Hingga
lima tahun berselang, tenyata kesempatan itu belum juga merapat.
to be continued...
Label:
A Long Way to the London Bridge,
London,
Novel
A Long Way to the London Bridge: Chapter 1
SATU
Antara iri dan takjub
“Kamu
cantik banget sih, Bar?”
Ganis
mengeluarkan sebongkah lap kanebo
berwarna pink yang telah digunting
dua, lalu menyibakkannya ke bodi motor matik berwarna pink metalik yang terparkir di halaman carport rumahnya. Di Sabtu pagi begini, sudah menjadi jadwal rutin
bagi Ganis untuk berkencan dengan si motor yang diberi nama Barbara Pinky Candy
Sholehah karena dirinya tak punya pacar. Menurut Ganis, Barbar – panggilan
akrab Barbara – akan menjadi pacarnya yang paling setia karena 24 jam bisa
dipastikan selalu berada di dekatnya. Saking dekatnya mereka berdua, Ganis
bahkan rela mencoba untuk sehidup-semati dengan Barbar. Salah satunya adalah
meniru kebiasaan Barbar, yaitu mandi seperlunya. Kalau tak ada urusan penting,
mandi bisa di-pending. Dan hari ini,
niat Ganis adalah mandi bersama Barbar setelah selama sebulan penuh Barbar
dibiarkan mendamba hujan untuk memandikannya gratisan. Berarti momen
mandi-mandian ini bisa dibilang untuk menjaga keharmonisan dan silaturahmi
antara pekerja dan majikan, meski tak jelas siapa yang kerja untuk siapa.
“Kak
Ganiiis, handphone lo bunyi, nih!”
teriak Andhita dari balik dapur sembari menenteng ponsel Ganis yang berlapis
silikon pink dengan wajah jijik. Ia
berjingkat-jingkat perlahan mendekati Ganis yang masih asyik menggosok ban
Barbar dengan penuh penghayatan. “Buruan diangkat! Dari Inggrid, tuh,” kata
Andhita lagi.
Ganis
serta-merta mendongakkan kepala dan mengernyitkan dahi. “Ah, seriusan lo?”
Tanpa banyak ‘cing-cong’, Ganis langsung melonjak dan segera merampas ponselnya
dari tangan sang adik setelah sebelumnya melempar kanebo ke sembarang arah. “Halo? Halo?”
“Helow?”
Suara perempuan di seberang sana terdengar lembut.
“Hello, this is Ganisya speaking. Are you
Inggris? I mean you… you from England?”
Suara
di seberang telepon langsung berubah kaku. “Halo, Ganis?”
“Yes! This is me, Ganisya Rahmadiani Hudianto.
Are you from UK? England, England. Inggris
itu lho, Mbak!” kata Ganis frustrasi, lantaran si lawan bicara tidak responsif.
“Inggris??
Inggris pale loe! Gue INGGRID! Gile, ya? Baru juga tiga bulan nggak kuliah,
otak lo udah gawat tumpulnya. Buruan deh Nis, elo kerja. Jangan nganggur di
rumah terus!” ujar Inggrid galak dengan gayanya yang sok tahu.
“Ng…”
Mendengar
suara salah satu teman kuliahnya berbunyi di ujung telepon, wajah Ganis yang
tadinya ceria langsung bermuram durja. Wajar. Sudah beberapa hari ini Ganis
menunggu telepon interlokal dari Inggris untuk memberinya konfirmasi beberapa
hal penting. Tidak tahunya, telepon pertama pagi ini hanya dari seekor makhluk sok
penting yang tiba-tiba memporak-porandakan masa inkubasi Ganis selepas lulus
kuliah.
Tuuut…
tuuut… tuuut…
Ganis
memutuskan sambungan telepon. Bete.
Tidak
terasa, sudah tiga bulan ini Ganis jadi pengangguran tulen. Bukan karena belum
mendapatkan pekerjaan, tetapi justru menghindari kerjaan. Menurutnya, ini
pilihan hidup. Di saat teman-teman seangkatannya sibuk cari kerja setelah
wisuda S1 untuk balik modal biaya kuliah, Ganis malah ongkang-ongkang kaki di
rumah. Capek kerja, katanya. Maklum, selama ini sesungguhnya Ganis tidak pernah
benar-benar menikmati masa kuliah karena ia menasbihkan diri sebagai mahasiswa
mata duitan yang tak bisa menyia-nyiakan kesempatan mengais rezeki di masa muda
penuh tenaga. Kalau cuma jual pulsa, kue subuh, kosmetik multi level marketing atau jadi calo tiket konser, jelas Ganis
sudah khatam. Ia bahkan memanfaatkan Barbar untuk ngojek antar jemput temannya pulang-pergi
dari kos ke kampus, jual jasa mengerjakan tugas mahasiswa tajir yang ke kampus
cuma modal tampang, jadi tukang rias nikahan massal hingga jadi bintang reality show dan ‘banci’ kuis di TV.
Semua Ganis jalani hanya untuk satu tujuan: ING…
“INGGRID
LAGI?!” Ganis melotot melihat ponselnya bergetar hebat dan memampang nama temannya
itu sekali lagi. “Halooo?? Ada apa sih, Nggrid?”
Terdengar
suara Inggrid misuh-misuh. “Heh! Telepon gue kok diputus sembarangan, sih?? Gue
kan belum ngomong apa-apa, Nis!”
Ganis
menelan ludahnya malas. “Ya ampun! Maaf, ya? Gue lagi di pengajian, nih.
Bentaran lagi ya, teleponnya?” bohong Ganis sembari menjauhkan ponselnya dari
telinga dan berharap Inggrid tidak lantas menjerit-jerit protes.
“Wuih!
Sejak kapan lo ke pengajian? Jangan-jangan… lo ngeduluin Nitnit?” duga Inggrid
curiga.
Mata
Ganis memicing bingung. “Ngeduluin Nitnit apaan, sih?”
“Eh,
lo! Masih ingat nggak sih sama geng PARJOK kita?”
JLEP!
Ganis
mulai merasa topik yang dibawakan Inggrid tidak akan membuat mood-nya membaik setelah gugatan Inggrid
atas pilihan hidupnya menjadi pengangguran.
“PARJOK?
‘Partai Jomblo Sedari Orok’ maksud lo? Hmm, iya gue nggak mungkin lupa.
Kenapa?” tanya Ganis malas, tidak berminat.
Well, sebenarnya Ganis tidak suka jika harus mengungkit
kenangan konyol mendirikan sebuah geng yang semua anggotanya adalah jomblo
kronis seperti PARJOK ini. Dulu waktu masih mahasiswa baru, PARJOK jadi geng
lucu-lucuan sekelompok cewek-cewek di jurusan Komunikasi yang punya track record menjomblo sedari bayi alias
belum pernah pacaran sama sekali. Tetapi menjelang dewasa, apalagi setelah lulus
kuliah, masih tergabung dalam geng ini adalah kisah yang memilukan. Masa iya, hampir
empat tahun kuliah di kampus gaul dengan banyak cowok kece, belum ada satu pun
di antara mereka yang mentas dari kubangan bernama JOMBLO?
“Huaaa!
Gue panik, Nis! Nitnit dilamar oraaang!!” Teriakan Inggrid membahana.
“Haaah?!”
Ganis ikutan histeris karena salah satu temannya di PARJOK disebut. “Kok bisa?!
Kapaaan??” Wajah Nitnit yang sok imut mengenakan kebaya lamaran sudah
melayang-layang di benaknya. Bikin Ganis ikutan kesal.
Inggrid
berusaha mengatur napasnya yang kejar-kejaran. “Besok siang! Eh, kok lo
teriak-teriak? Kan elo lagi di pengajian!”
Dengan
cepat, Ganis mengeluarkan keahlian ‘bersulap’ lidah alias ‘ngeles’. “Ehe, iya.
Ini pengajiannya di TV, kok. Terus, terus… gimana?!” serunya penasaran.
“Pfiuh!
Sekarang lo buruan siap-siap ke Starbucks PIM (baca: Pondok Indah Mall) jam
satu, ya? Please, be on time!”
Ganis
melongo. “Nitnit lamaran di Starbucks?”
“Bukan!
Kita perlu rapat intern Parjokers untuk membahas AD/ART. See you!”
Tuuut…
tuuut… tuuut…
Dengan
semena-mena, kali ini Inggrid yang memutuskan sambungan telepon.
Cool.
Ganis
sukes dibuat tidak percaya dengan segala kenyataan yang menghadang. Belum
sempat ia menikmati masa rehat kuliah dengan berleha-leha, kini Ganis malah
harus menghadapi takdir bahwa ia bukanlah orang pertama yang lulus dari PARJOK.
Entah ini penghinaan atau penyemangat, yang jelas Ganis kecewa. Rencana yang
sudah disusun sejak empat tahun lalu itu benar-benar bukan rencana kacangan
yang bisa ditikung seperti ini. Nitnit memang beruntung dilamar duluan, tetapi
Ganis tahu ia tak bisa menunggu untuk keberuntungan yang sama.
* * *
Starbucks
PIM tidak ubahnya warung kopi pinggir jalan kalau sudah dipenuhi para ‘jomblowati
seabad’ macam Parjokers. Bukan karena mereka gegilaan kopi seperti abang-abang
pencandu begadang siang-malam, tetapi karena gosip dan ‘cit-cit-cuit’ mereka
jauh lebih ramai daripada jumlah kopi yang mereka pesan. Sebenarnya jumlah Parjokers
ada sebelas, tetapi yang bisa hadir siang ini hanya enam, dan yang memesan
minuman hanya Inggrid dan Fathya. Sisanya? Opie tak bisa minum kopi, Dessy
sedang diare, Jena diet caffeine dan
Ganis bokek. Alhasil biar tak malu, mereka pura-pura membeli banyak minuman
dengan cara memindahkan gelas-gelas kosong yang tak dibuang oleh meja sebelah
ke meja mereka di pojok ruangan untuk sekadar jaga gengsi.
Setelah
suasana aman, rapat PARJOK dimulai dan semua anggota sudah ribut dengan
sendirinya. Sejujurnya Ganis tidak tahu maksud pertemuan mendadak ini. Tapi
yang jelas, ia mendapati tatapan iri teman-teman se-gengnya ini sama kuatnya
dengan dirinya. Ya, sama-sama tidak terima kalau sobat mereka yang sama-sama
jomblo sejak lahir bernama Nitnit itu kini siap jadi istri orang.
Terus,
kenapa? Memangnya Nitnit salah apa sampai PARJOK harus bikin rapat segala demi
membahas acara lamaran dia? Panitia juga bukan. Jadi, situasi yang paling
pantas untuk menggambarkan nuansa rapat kali ini adalah iri sekaligus takjub.
Dua puluh dua tahun menjomblo bersama, jika seorang di antara mereka melepaskan
diri, tentu menyulut reaksi dongkol berkepanjangan. Lantas kalau teman menikah
duluan, apakah Parjokers lain lalu merasa tersinggung dan harus buru-buru
menikah juga? Sarap!
“Sesuai
perjanjian kita waktu kuliah dulu, orang pertama yang lolos dari PARJOK akan
mendapatkan piala bergilir dan privilege
berupa kejutan dari anggota yang masih aktif,” kata Fathya berusaha bersikap
netral, meski sejujurnya hatinya terpecah-belah.
Jena
menyela. “Kejutan apa? Kado bulan madu?”
“He?!
Mahal amat! Mending pesta bujang. Sini, gue datangkan tuh artis-artis Korea
favoritnya Nitnit, terus suruh nari-nari di depan kita!” sergah Ganis licik dan
diam-diam mengeluarkan botol air mineral berbentuk infus berwarna pink dari dalam tasnya, lalu menenggak
isinya sampai habis.
Mendengar
itu, impuls Inggrid menyenggol lengan Ganis hingga tersedak. “Geblek! Siapa
juga yang mau ngadoin begituan? Kita bikin kejutan aja di resepsi nanti dengan
bawa pacar masing-masing.”
Semua
sontak mangap. “PACAR?”
Gara-gara
teriakan itu, mereka kini sukses dilirik sinis para pelanggan Starbucks di meja
sebelah yang terganggu dengan ke-‘lebay’-an para Parjokers.
Dasar cewek-cewek nggak punya adab.
“Etdah!
Beli di mana, gue?” Jena berteriak histeris seakan yang panik akan
ke-‘tidakpunyaan’-nya itu cuma dia. Padahal, semua pun merasakan kegalauan yang
sama.
Opie
angkat bicara. “Sembarangan lu, Nggrid! Kecengan aja masih mendamba. Mana
disuruh bawa pacar pula? Alamat gue nggak datang aja, deh.”
Sambil
menahan sakit di perutnya gara-gara masih diare, Dessy memberikan saran. “Eh,
sandiwara aja, yuk! Kayak di film Korea. Jadi, kita pinjem cowok orang atau
siapa aja yang bisa digandeng. Pokoknya yang penting Nitnit senang kalau lihat
kita senang juga,” celetuk Dessy dengan tampang datar dan berkata ‘mustahil’
kepada dirinya sendiri.
Mendengar
saran yang sama sekali tidak memberikan solusi semacam itu, Parjokers sibuk
memutar otak. Wajah mereka kompakan jadi kusut seperti tengah ikut ujian SPMB.
Tapi ternyata di saat yang lainnya gusar, Ganis malah berusaha meningkatkan
semangat ke dirinya sendiri dan merasa masih punya harapan.
“By the way, nikahannya kapan, sih?
Bentar lagi ya?” tanya Ganis polos.
Tatapan
Inggrid menelisik. “Lamaran besok, nikahnya katanya bulan Agustus. Tuh kan,
sekarang udah Mei. Apa kabar kita semua??” sembur Inggrid panik. Ia menyeruput caramel latte-nya hingga habis dan
mengelap mulutnya cadas.
Seperti
tanpa beban, Ganis menghela napasnya mendalam dan penuh determinasi seakan
hendak menunjukkan energi yang ia miliki. “Oke. I will.”
“MAKSUDNYA??”
Para
Parjokers di meja mereka mangap mendengar kalimat terakhir Ganis.
Hening.
Bukannya
menjawab, Ganis justru cengar-cengir sambil terdiam dalam beku. Baginya, mengungkit
lagi soal kisah-kasihnya tujuh tahun lalu di saat ‘hidup dan mati’ para jomblo
ditentukan begini, bukanlah merupakan pilihan tepat. Bisa jadi, teman-teman
se-gengnya nanti malah mati-matian menenggak kopi supaya terjaga untuk terus
mendengarkan alunan dongeng dari mulut Ganis yang mengiris hati.
“Next week, gue akan menjalankankan misi London Calling yang waktu dulu pernah
gue ceritain ke kalian,” ucap Ganis penuh teka-teki. Tatapannya menghambur ke
seluruh Parjokers dan sengaja memberikan ruang bertanya di sana.
“Hah?”
Tak
ada seorang pun di antara Parjokers yang mengerti dengan ocehan Ganis barusan.
Meski terdengar optimis, bagi mereka itu meaningless.
Setidaknyajika dikaitkan dengan kebiasaan Ganis mengumbar guyonan garing hanya
untuk ditertawakan oleh para Parjokers yang gemar bicara cablak.
“I’ll backpacking… to London,” lanjut
Ganis sok diplomatis.
“Ng…??”
Sudah
capek-capek memilih padanan kata yang dramatis, nyatanya Parjokers masih tidak
nyambung juga. Dikiranya Ganis masih mencoba nge-‘garing’.
“Coba
lagi ya, Nis! Hehe.” Jena menepuk pundak Ganis dan menyuruh temannya itu
mencoba sekali lagi dengan banyolan yang lebih tinggi nilai humornya.
Barulah
ketika Ganis mengeluarkan open ticket
pesawat Jakarta-London untuk Rabu depan dari dalam ransel Jansport warna toska
miliknya, Parjokers mulai histeris. Tiket pesawat – yang sudah ia pesan
jauh-jauh hari dan tadi baru saja diambil di travel agent – itu dibawa keliling
ke seluruh Parjokers dan masing-masing dari mereka mantap menganga sambil
jerit-jerit frustrasi. Jelas Ganis bengong. Ia kan hanya menunjukkan sebuah
tiket pesawat, bukan sebuah undangan pernikahan layaknya Nitnit. Tetapi,
mengapa reaksi Parjokers justru lebih galau dari sekadar mendapat ‘tugas’ untuk
mencari pacar?
Ternyata
jawabannya adalah: mereka tak terima bahwa Ganis ‘si pengangguran’ bisa punya
bujet untuk traveling ke salah satu
kota yang dikenal paling mahal di dunia itu!
Saking
tak percayanya, Jena bahkan menduga Ganis baru saja mendapat warisan. Belum
lagi Fathya yang curiga bahwa Ganis memang sengaja mau menjadi TKW, makanya
ogah melamar kerja ke perusahaan di Indonesia. Tapi anehnya, Opie dan Dessy
justru menyangka Ganis baru saja menelan pil koplo lantaran misi pergi ke
London tak ada hubungannya dengan mencari pacar.
Oke,
sampai di sini Ganis speechless. Tapi
sepertinya ia harus buru-buru buka suara untuk menanggapi kekesalan Inggrid, si
biang ‘rempong’ yang tak ada duanya.
“Terus?
Ada keajaiban apa tiba-tiba lo ke London? Bacpacking
pula! Bukannya susah ya, Nis? Kita aja mau backpacking-an
ke Raja Ampat nggak jadi-jadi gara-gara nggak ada duit. Lagi pula,
elo kan…” pengangguran, Inggrid
melanjutkan dalam hati.
Mendengar
ini, Ganis hendak mengalihkan bahan pembicaraan. “Eh, nggak jadi ngomongin soal
Nitnit lagi? Kita kan rapat buat…”
“SSSTTT!!”
Fathya mendesis galak. Tidak ingin diinterupsi. “Ceritain dulu London-London lo
itu! Bikin ‘kepo’ aja. Buruan!”
Tawa
Ganis kemudian merekah, bertolak belakang dengan ucapannya yang mulai membuat
ingatan Parjokers melayang pada insiden tiga tahun lalu.
“Ingat
Kitab Cinta yang gue bawa waktu Dasteran
Party di rumah Opie pas semester tiga?”
Nada suara Ganis melemah, tapi senyumnya tak pernah lepas. Seakan ingin
menguatkan hatinya yang mulai ternoda dengan segores luka lama.
Parjokers
saling berpandangan. Entah mengapa suasana rusuh yang terbangun tadi, kini
malah menjadi sendu. Ganis pun melanjutkan dongengnya karena semua orang tak
percaya ia punya rencana besar selain sekadar melancong (baca: menggelandang)
ke London.
“FYI, I’ll never forget that ‘damn’ handsome Italian guy for all my life.”
Seiring
genderang dibunyikan, Parjokers tak akan bisa menghentikan guliran kisah ini
mengalir penuh daya. Bahkan, Ganis pun tidak sama sekali.
* * *
Label:
A Long Way to the London Bridge,
London,
Novel
Langganan:
Postingan (Atom)