DUA
Datang dari masa lalu
Ganis
ingat betul pertama kali benar-benar jatuh cinta ketika baru saja mendudukkan
diri tiga hari di bangku SMA. Saat itu, sebagai siswa kelas satu yang beranjak
puber dan berusaha mengenal lawan jenis dalam intensi percintaan, Ganis dan teman-temannya
sepakat berburu kakak kelas kece di sekolah yang dipercaya sebagai tempat di
mana banyak kisah cinta manis penuh kenangan bermula. Sejak hari pertama masuk
SMA, Ganis sudah mencoba memilih-milih kakak kelas mana yang akan diburunya
jadi gebetan kelak. Mulai dari anak basket, anak bola, anak taekwondo, anak
OSIS, sampai anak ROHIS (baca: Rohani Islam) yang dianggap sebagai tempat
paling tepat mencari calon suami saleh dari SMA. Tapi entah mengapa, intuisinya
hanya mengejar satu nama.
Waktu
itu Juli 2005.
Matahari
sedang terik-teriknya membakar bumi. Tak banyak yang bisa dilakukan para siswa
baru selain berdoa agar tak gosong dijemur panitia Masa Orientasi Siswa (MOS)
di lapangan upacara demi menonton persembahan seni dari tiap perwakilan kelas
satu. Kebetulan kelas Ganis tampil pertama ketika masih pagi, jadi sisa waktu pertunjukan
kebanyakan dihabiskan anggota kelas itu untuk menutupi wajah dengan handuk,
kertas atau apa pun itu yang bisa melindungi wajah mereka dari sengatan
matahari. Oke, jadi tidak satupun teman sekelas Ganis berhasil menjalankan misi
mencari gebetan di saat-saat genting seperti ini karena gagal menebar pesona
mereka di balik tameng anti panas.
Meskipun
begitu, beberapa siswa laki-laki di kelasnya masih menyempatkan diri untuk
memberi semangat kepada siswi kelas tetangga yang jadi idola instan karena
kecantikannya memancar jelas dari jarak lima puluh meter sekalipun. Bahkan,
kakak kelas cowok pun tak segan-segan bersorak dan menyebut-nyebut kata
‘celana’ dengan keras. Walau aneh, Ganis mendengarnya demikian. Matanya
memicing dan tak melihat ada yang mencurigakan dari siswi berambut panjang
berwarna brunette dengan kulit putih
kemerahan yang mirip bule itu. Tak ada celana melorot, celana kedodoran atau
celana terbalik. Lalu, mengapa seisi sekolah heboh meneriakkan kata yang sama?
Tak mau ketinggalan zaman, Ganis pun ikut berteriak.
“Celana!
Celana!”
Tiba-tiba
seorang teman sekelasnya menyenggol lengan Ganis dan membisikinya keras.
“Namanya Elana, Nis! Bukan celana!”
Oke,
Ganis sudah kehilangan muka dan setelah itu tak mau lagi terlibat dengan segala
jenis pertunjukan anak kelas satu yang mampir di hadapannya. Bahkan, ketika Ares
–siswa baru paling tampan seangkatan – manggung main gitar menyanyikan lagu ‘This
Love’-nya Maroon 5 dan mendapat sambutan meriah dari kakak kelas cewek, Ganis
sudah terlelap di balik handuk putihnya. Berusaha menjauhi matahari dan ingar-bingar
Masa Orientasi Sekolah yang tak semanis bayangannya.
“Nis,
mau demo ekskul, nih. Bangun! Banyak kakak kelas ganteng unjuk gigi, lho!” kata
teman Ganis yang ada di sebelahnya. Mereka sudah janjian untuk cari gebetan
bareng di acara ini sebagai penyemangat memulai masa SMA yang terkenal sangat
indah.
Kepala
Ganis sedang miring sebelah saat seseorang menyenggolnya agar membuka mata.
“Ganis! Anak basket lho abis ini yang tampil. Gue dengar ada yang namanya
Rasyad. Orangnya ganteng gila! Dulunya pernah ikut klub profesional junior.”
Terdengar
bunyi deham pelan dari balik handuk Ganis. “Hmm, gue tunggu anak bola aja, deh.
Basket udah pasti banyak yang ngegebet.”
Giliran
anak ekskul bola tampil, Ganis justru sedang asyik menempelkan wajahnya ke
lututnya yang ditekuk. Mencoba mencari sandaran yang lebih mantap dari sekadar
bahunya yang mulai pegal.
“Woy,
ini ekskul bola lagi main. Sumpah! Kakak yang jadi kiper itu manis banget. Elo
nggak mau lihat?”
Ganis
menggeleng pelan. “Udah, buat lo aja. Gue nanti deh, pas anak ROHIS.”
Berhubung
ROHIS itu bukan ekskul melainkan organisasi, para anggotanya pun tak tampil
terang-terangan unjuk kebolehan di lapangan hanya untuk menjaring anggota.
Jadi, harapan Ganis untuk ‘belanja’ kakak kelas saleh musnah sudah sekalipun ia
nekat membuka mata untuk pertama kalinya sejak sesi demo ekskul dimulai. Apa
mau dikata, memejamkan mata lagi tidak mungkin karena ternyata ekskul yang
tampil selanjutnya benar-benar membuat mata Ganis melotot dan sulit untuk
berkedip.
Capoeira?? Sekolah macam apa punya
ekskul kayak gini?
Musik
berirama latin serta-merta berkumandang melalui speaker yang terpasang di berbagai sisi gedung sekolah. Sekelompok
siswa mulai melakukan gerakan martial art
khas Amerika Latin dan menghanyutkan semua orang dengan keindahan koreografi
mereka yang penuh semangat. Beberapa dari mereka bergoyang, menari dan saling
menyerang dalam pola gerakan yang indah seperti halnya penari capoeira sungguhan. Nyaris tanpa cela.
Saat
menikmati penampilan itu, Ganis sadar ia tak bisa bernapas dengan benar.
Sekalipun kadang ia masih bisa mendengar para siswi riuh memanggil-manggil
sosok pemuda tampan yang baru saja melakukan gerakan akrobatik di atas tubuh
anggota capoeira yang lain, Ganis
paham betul tubuhnya kini sedang tidak berada pada kondisi normal. Seketika
panas matahari menyebar turun dari kepalanya menuju wajah. Menghantarkan
kobaran yang tidak pernah bisa Ganis hentikan. Ia tahu ini mungkin gejala heatstroke karena kepalanya terlalu lama
berada di bawah sinar matahari langsung. Tetapi agaknya Ganismerasa lebih pas
menyebut ini heartstroke sejak
jantungnya berdegup kencang menantang tatapan tajam pemuda itu. Seorang siswa
kelas dua berwajah latin yang memperkenalkan diri sebagai ketua ekskul capoeira sesaat setelah menyelesaikan
demonya.
“Kalau
mau gabung, bisa datang ke kelas saya di 2 IPS 1. Langsung ketemu saya, Marky atau
ke 2 IPA 2 ketemu Randy. Terima kasih.”
Damn!
Ganis
langsung tahu ia jatuh cinta dengan yang namanya Marky.
Bagi
Ganis, Marky itu Dewa Cinta.
Hampir
tak ada perempuan yang bisa menolak pesonanya sekalipun Ganis yakin Marky bukan
tipe cowok keren yang haus popularitas. Tanpa perlu banyak gaya, Marky bisa
saja dengan mudah menundukkan lawan jenis. Tubuh atletis karena rajin olahraga
ditambah wajah latin percampuran antara Italia dan Jawa yang selalu tampak
‘cowok banget’, berhasil memikat banyak perempuan di sekolah. Tak terkecuali
Elana, si primadona sekolah yang terkenal karena sering wara-wiri di berbagai
majalah sebagai fotomodel dan anak pengacara handal. Meski sudah ‘ditembak’
tujuh cowok berbeda dalam satu semester, anehnya Elana tetap tak berhenti
mengincar Marky.
Singkat
cerita, Marky pantas dipuja wanita. Tak hanya karena keindahan fisiknya saja yang
memukau, secara prestasi pun ia cukup menjanjikan. Selain jago olahraga, dalam
pelajaran sekolah nilainya cukup memuaskan. Belum lagi aktif organisasi ini-itu
baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Sikapnya pun dikenal ramah, rendah
hati dan penolong sehingga banyak orang ingin menjadi temannya. Berdasarkan semua
kualifikasi itu, Ganis memutuskan bahwa Marky lebih dari sekadar calon suami
idaman, tetapi Marky adalah cinta sejatinya. Entah apa tolok ukurnya, Ganis yakin
betul Marky adalah jodoh yang dikirimkan Tuhan untuknya.
Keyakinan
itu lantas membuat hari-hari SMA Ganis selalu dipenuhi keceriaan tanpa batas
sejak melihat Marky pada hari ke-3 di sekolah. Tawanya selalu merekah setiap
kali menjejakkan kaki di gerbang sekolah dan tak pernah terburu-buru ingin
meninggalkannya, meski penjaga sekolah kerap kali mengusir Ganis untuk pulang
tepat waktu. Selain itu, Ganis juga nyaris tak pernah datang terlambat dan stand by di balkon kelasnya pada pukul tujuh
kurang lima belas untuk menjadi saksi mata adegan Marky memasuki kelasnya di
lantai dua yang tepat berseberangan dengan kelas Ganis di lantai tiga. Bagi
Ganis, adanya lapangan basket yang memisahkan keberadaan mereka saat jam
pelajaran, sama sekali tidak menghalangi koneksi batin antara dirinya dan
Marky. Buktinya, dalam sehari ia bisa bertemu Marky beberapa kali di berbagai
sudut sekolah mereka yang amat luas, meski tidak janjian sebelumnya. Ya, mana
bisa janjian kalau berkenalan pun tidak pernah?
“Gue
malu, Nay. Kalau disuruh saingan sama cewek rakyat jelata juga, gue sih siap di
jajaran terdepan! Tapi kalau saingan gue cewek yang cantiknya berlebihan kayak
Elana, gue udah kalah telak di medan perang. Mending pakai strategi gerilya aja
yang masih bisa nikung dari belakang dan nyelamatin muka gue di depan lawan,”
tukas Ganis suatu kali saat teman sebangkunya, Nayla, meminta Ganis untuk
berhenti mengagumi Marky dari jauh dan mulai melakukan pendekatan secara
terang-terangan agar tidak disalip oleh Elana.
Oleh
sebab itu, strategi perang diam-diam a la Ganis sudah rapi disusun dalam sebuah
buku diary bernama Kitab Cinta.
Isinya tak lain adalah setiap momen berharganya bertemu dengan Marky, meski tak
sepatah katapun pernah terlontar secara langsung di antara mereka. Ganis tahu,
satu-satunya cara agar tetap menjaga kesempatan untuk dekat dengan Marky tanpa
takut dicela adalah menjadi seorang stalker.
Ia menguntit Marky ke manapun pergi di lingkungan sekolah dan menuliskannya
dalam Kitab Cinta. Mulai dari biodata lengkap, hobi, kebiasaannya ketika
istirahat, makanan favorit, teman sepermainan, kegiatan di luar sekolah,
pelajaran yang disukai, nomor ujian, nomor sepatu, nomor ponsel, akun Friendster, alamat rumah hingga pelat nomor motor bebek yang selalu setia mengantar
cowok itu ke sekolah sudah lengkap dicatat Ganis. Saking tak ingin kehilangan
momen catat-mencatatnya, Ganis bahkan rela datang ke sekolah di hari Sabtu –
meski dirinya libur – hanya untuk memantau perkembangan Marky latihan capoeira. Itulah mengapa, bagi Ganis
hari libur sekolah adalah penderitaan karena mengurangi waktunya untuk bisa
bertemu Marky.
Demi
Tuhan, Marky memang benar-benar membuat Ganis kehilangan kewarasan.
Siang,
sekitar awal 2006.
“Ganisyong,
ada pertandingan bola antar angkatan, nih! Nonton yuk pas jam istirahat makan
siang! Yang main kelasnya Kak Rey, lho,” lontar Nayla kencang. Ia dan Ganis
memang terbiasa merumpi tentang kakak kelas rupawan. Tetapi mereka tak pernah
membahas Marky terang-terangan karena Ganis sudah keburu ‘menyegel’ mulut Nayla
agar tak membicarakan apa pun yang negatif tentang pujaan hatinya.
“Nggak
minat sama Kak Rey. Kayak playboy.
Senyum sana-sini mirip salesman,”
balas Ganis sambil membuka majalah yang memampang wajah Elana sebagai
sampulnya.
Nayla
melemparkan buntelan kertas ke wajah Ganis. “Yaelah. Gue tahu elo sukanya sama
si Itali gambreng itu. Tapi jangan ngata-ngatain idola gue playboy, dong! Memangnya ‘Si Sepidol’ nggak playboy? Ganteng gitu masa nggak punya pacar?” seru Nayla curiga.
Ia selalu menyebut Marky dengan julukan ‘Si Sepidol’ karena baginya nama
gebetan Ganis itu mirip sebuah merek spidol terkenal.
Ganis
mendengus pelan. “Tenang, dia masih jomblo. Nungguin gue kayaknya. Bahkan, ‘Si
Celana’ aja nggak bisa nundukkin dia. Berarti posisi gue aman,” kata Ganis
sembari menaikkan kedua alisnya genit.
“Wait! Kalau Elana
yang cantik-tajir-seksi gitu aja nggak dilirik, gimana elo?”
JEDUG!
Tanpa
aba-aba, Ganis sudah menggetok kepala Nayla dengan majalahnya. “Heh! Kecengan
gue nggak mudah terpikat sama cewek modal duniawi kayak Elana.”
“Jadi,
maksud lo Marky cari cewek yang berorientasi akhirat kayak elo gitu? Lebih
nggak mungkin lagi. Pantesan dia jomblo. Sebenarnya dia itu cowok normal nggak,
sih?”
Tanpa
aba-aba, Ganis langsung membungkam mulut Nayla yang ‘celamitan’ dengan tisu.
Takut ada teman-teman lain yang mendengar siapa objek yang sedang mereka
bicarakan. Padahal, Ganis sudah mati-matian merahasiakan statusnya sebagai
pemuja Marky karena tak mau dicibir rakyat SMA-nya sebagai ‘Babu merindukan
Tuan’. Bisa kelam sisa masa SMA-nya nanti. Tapi kalau dipikir-pikir, kecurigaan
Nayla ada benarnya juga. Mengapa hampir setahun Ganis satu sekolah dengannya,
Marky tak pernah sekalipun terlihat mendekati seorang perempuan? Jaga image? Jaga diri? Jaga gengsi? Jaga
standar yang ketinggian?
Atau…
“Dia
normal, kok. Gue yang akan buktiin,” tukas Ganis mengakhiri percakapan dan
sukses membuat Nayla menganga selebar-lebarnya.
Awal
2007. Marky sudah kelas tiga.
Hampir
tidak terhitung lagi kejadian apa saja yang sudah Ganis catat dalam Kitab Cinta
selama nyaris dua tahun belakangan. Bahkan, sekarang setiap catatan ditambahkan
dengan selipan foto candid yang
diambil dari kamera ponsel semenjak Ganis ketahuan petugas tata usaha sedang
berusaha mencomot pas foto Marky yang menjadi dokumen administrasi sekolah. Jadi,
biar aman Ganis melakukan dokumentasi pribadi untuk melengkapi data agar tambah
akurat. Meskipun hasil fotonya jelek, toh ketampanan wajah eksotis Marky tidak
pernah terbantahkan. Setidaknya, bagi Ganis yang selalu menjerit-jerit begitu
berhasil menangkap sosok Marky melalui kameranya.
Pertengahan
Februari, musim ujian pun sudah dimulai. Itu pertanda sudah waktunya Ganis mengubah
strategi gerilya menjadi emansipasi wanita sebelum Marky benar-benar lulus SMA.
Setidaknya, Ganis harus mulai pensiun jadi pengagum rahasia dan muncul ke
permukaan agar memberikan kesan mendalam pada Marky sebelum perpisahan
menjelang. Ganis tahu ini sangat berat. Selama ini ia tidak pernah punya cukup
keberanian untuk menampakkan diri di hadapan Marky dalam dunia nyata,
dan hanya mampu mengangankan Marky dari alam bawah sadarnya. Tapi, percobaan
harus tetap dilaksanakan sekalipun semuanya mengalami kegagalan total.
Dimulai
dari kue Valentine yang Ganis selipkan khusus di laci meja
Marky saat masih pagi buta, justru berakhir di perut teman sebangku Marky yang
kelaparan. Belum lagi kartu ucapan handmade
yang menampilkan karikatur wajah Marky dalam ekspresi boyish yang selama ini Ganis perhatikan, sukses ditertawakan teman
sekelas Marky karena dianggap gayish alias
mirip gay gara-gara bentuk badannya
dalam gambar itu terlalu berotot. Tidak hanya sampai di situ. Kado ulang tahun
Marky yang oleh Ganis dibungkus tas plastik keresek warna hitam dan
digantungkan di motor bebek Marky sebelum jam pulang sekolah agar tidak
mencurigakan, nyatanya malah dikira bom oleh satu sekolahan. Akibatnya, kado
itu ditinggalkan pemiliknya dan tak pernah disentuh lagi hingga akhirnya
dipungut oleh satpam, dan sukses menghunjam bak sampah.
Sampai
di sini, tadinya Ganis ingin menyerah. Namun, dukungan Nayla membuat Ganis
tahan malu. Ia menggunakan bakat terpendamnya sebagai penulis fiksi untuk
mengarang sebuah cerita bersambung di mading sekolah dengan deskripsi tokoh
utama persis Marky dan dirinya. Tapi nama tokoh dan penulis tetap disamarkan,
meski kebanyakan orang yang membacanya telah sadar tokoh utama pria dalam
cerita itu adalah Marky. Akibatnya, para siswa dan guru kompak menduga ada
seorang siswi yang punya penyakit obsesi cinta kronis, lalu
nekat curhat di mading untuk misi ‘penembakan’ tidak bertanggung jawab. Baru
sampai empat jilid dimuat, cerita bersambung itu dicopot paksa oleh massa.
Oke,
semua senjata Ganis luluh lantak ‘dibumi-hanguskan’ oleh warga sekolah.
“Aduh,
gue udah nggak bisa lagi nyoba terang-terangan bilang suka sama dia. Udah nggak
punya muka nih gue,” kata Ganis di sela-sela jam istirahat di kantin. Ia
mengaduk kuah mie ayam sambil menguap malas karena udara mendung langsung
membuatnya mengantuk.
“Masa
baru gini udah nyerah?” tukas Nayla sambil meminum jus di sebelah Ganis.
“Katanya lo serius cinta sama dia? Lo yakin nggak mau bilang sampai kapanpun
juga? Bentar lagi doi lulus, lho. Jangan sampai entar lo menyesal nggak bisa
ketemu dia lagi!”
Pandangan
Ganis menerawang menuju lapangan basket yang bersebelahan dengan kantin. Di
sana ada Marky yang cuek makan bakso sambil sesekali menendang bola dari
pinggir lapangan. Aura boyish-nya
selalu berhasil memikat Ganis dari jarak berapa pun.
“Iya juga, sih. Gue pengen kenal dia, pengen akrab, pengen
jalan bareng ngabisin waktu sama dia. Tapi gue nggak pede, Nay. Kalau bicara
aliran kebatinan, gue sama dia punya chemistry
bawah sadar yang menakjubkan. Jantung gue selalu bergetar kalau merasa dia itu
ada di dekat gue. Tapi kalau udah digeser ke kehidupan nyata, benar-benar nggak
nyambung. Lihat aja, latar belakang kita berdua udah beda. Kasta, tampang,
popularitas, prestasi dan pergaulan gue sama dia udah kayak babu sama tuan.
Beda rating.”
“Level,
kali! Lo pikir kalian berdua acara TV? Udah deh, lo tuh kebanyakan
pertimbangan. Nggak usah gengsi. Masa dua tahun suka sama orang, sama sekali
nggak ada kemajuan kayak gini? Mana nggak kenal orangnya pula!” protes Nayla.
Alis
Ganis berkerut, mencoba introspeksi diri. “Benar sih, Nay. Terus, gue harus
gimana? Ngajak kenalan dia? Ah, tapi gue takut ditolak. Gue nggak mau patah
hati!” rengek Ganis seperti anak kecil sedang merajuk minta dibelikan mainan.
“Eh,
cuma kenalan doang nggak mungkin ditolak. Pelan-pelan aja dulu. Jangan langsung
tembak. Biar dia nggak serem sama lo,” ucap Nayla yang ditanggapi Ganis dengan
anggukan mantap.
Selama
ini Ganis selalu meminta petuah dari Nayla karena temannya satu itu punya daya
analisis yang kuat, meski dalam bidang daya khayal Ganis tetap lebih unggul.
Tapi sebanyak apa pun Ganis bertanya, Nayla hanya menyerukan satu jawaban:
kenalilah Marky. Jawaban yang sangat mudah, tetapi sangat sulit Ganis lakukan.
Ia selalu merasa mengenal Marky lebih dari siapapun melalui semua catatan dalam
Kitab Cinta yang ditulisnya. Namun, semua itu hanya berdasarkan khayalannya
semata dan pengamatan dengan sudut pandang yang dihiasi cinta sepihak. Padahal,
belum tentu dalam dunia yang sebenarnya Marky itu seindah bayangannya. Hal
inilah yang membuat Ganis selalu takut untuk sungguhan mengenal Marky. Ia takut
Marky tidak tampak sempurna lagi di matanya. Takut menghadapi kenyataan bahwa
Marky adalah manusia biasa dan bukanlah Dewa Cinta yang ia impikan.
“Jadi,
kapan mau kenalan sama Marky?”
Pikiran
Ganis langsung melayang membayangkan wajah Marky ada di hadapannya sambil
mengulaskan sebuah senyum menenangkan. Setiap kali membayangkan senyum ini,
hati Ganis langsung berdesir.
“Segera
saat kesempatan itu datang. Kalau waktunya udah tepat, gue akan kejar dia
sampai dapat!”
Hingga
lima tahun berselang, tenyata kesempatan itu belum juga merapat.
to be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar