Rabu, 09 Oktober 2013

A Long Way to the London Bridge: Chapter 2


DUA
Datang dari masa lalu

Ganis ingat betul pertama kali benar-benar jatuh cinta ketika baru saja mendudukkan diri tiga hari di bangku SMA. Saat itu, sebagai siswa kelas satu yang beranjak puber dan berusaha mengenal lawan jenis dalam intensi percintaan, Ganis dan teman-temannya sepakat berburu kakak kelas kece di sekolah yang dipercaya sebagai tempat di mana banyak kisah cinta manis penuh kenangan bermula. Sejak hari pertama masuk SMA, Ganis sudah mencoba memilih-milih kakak kelas mana yang akan diburunya jadi gebetan kelak. Mulai dari anak basket, anak bola, anak taekwondo, anak OSIS, sampai anak ROHIS (baca: Rohani Islam) yang dianggap sebagai tempat paling tepat mencari calon suami saleh dari SMA. Tapi entah mengapa, intuisinya hanya mengejar satu nama.
Waktu itu Juli 2005.
Matahari sedang terik-teriknya membakar bumi. Tak banyak yang bisa dilakukan para siswa baru selain berdoa agar tak gosong dijemur panitia Masa Orientasi Siswa (MOS) di lapangan upacara demi menonton persembahan seni dari tiap perwakilan kelas satu. Kebetulan kelas Ganis tampil pertama ketika masih pagi, jadi sisa waktu pertunjukan kebanyakan dihabiskan anggota kelas itu untuk menutupi wajah dengan handuk, kertas atau apa pun itu yang bisa melindungi wajah mereka dari sengatan matahari. Oke, jadi tidak satupun teman sekelas Ganis berhasil menjalankan misi mencari gebetan di saat-saat genting seperti ini karena gagal menebar pesona mereka di balik tameng anti panas.
Meskipun begitu, beberapa siswa laki-laki di kelasnya masih menyempatkan diri untuk memberi semangat kepada siswi kelas tetangga yang jadi idola instan karena kecantikannya memancar jelas dari jarak lima puluh meter sekalipun. Bahkan, kakak kelas cowok pun tak segan-segan bersorak dan menyebut-nyebut kata ‘celana’ dengan keras. Walau aneh, Ganis mendengarnya demikian. Matanya memicing dan tak melihat ada yang mencurigakan dari siswi berambut panjang berwarna brunette dengan kulit putih kemerahan yang mirip bule itu. Tak ada celana melorot, celana kedodoran atau celana terbalik. Lalu, mengapa seisi sekolah heboh meneriakkan kata yang sama? Tak mau ketinggalan zaman, Ganis pun ikut berteriak.
“Celana! Celana!”
Tiba-tiba seorang teman sekelasnya menyenggol lengan Ganis dan membisikinya keras. “Namanya Elana, Nis! Bukan celana!”
Oke, Ganis sudah kehilangan muka dan setelah itu tak mau lagi terlibat dengan segala jenis pertunjukan anak kelas satu yang mampir di hadapannya. Bahkan, ketika Ares –siswa baru paling tampan seangkatan – manggung main gitar menyanyikan lagu ‘This Love’-nya Maroon 5 dan mendapat sambutan meriah dari kakak kelas cewek, Ganis sudah terlelap di balik handuk putihnya. Berusaha menjauhi matahari dan ingar-bingar Masa Orientasi Sekolah yang tak semanis bayangannya.
“Nis, mau demo ekskul, nih. Bangun! Banyak kakak kelas ganteng unjuk gigi, lho!” kata teman Ganis yang ada di sebelahnya. Mereka sudah janjian untuk cari gebetan bareng di acara ini sebagai penyemangat memulai masa SMA yang terkenal sangat indah.
Kepala Ganis sedang miring sebelah saat seseorang menyenggolnya agar membuka mata. “Ganis! Anak basket lho abis ini yang tampil. Gue dengar ada yang namanya Rasyad. Orangnya ganteng gila! Dulunya pernah ikut klub profesional junior.”
Terdengar bunyi deham pelan dari balik handuk Ganis. “Hmm, gue tunggu anak bola aja, deh. Basket udah pasti banyak yang ngegebet.”
Giliran anak ekskul bola tampil, Ganis justru sedang asyik menempelkan wajahnya ke lututnya yang ditekuk. Mencoba mencari sandaran yang lebih mantap dari sekadar bahunya yang mulai pegal.
“Woy, ini ekskul bola lagi main. Sumpah! Kakak yang jadi kiper itu manis banget. Elo nggak mau lihat?”
Ganis menggeleng pelan. “Udah, buat lo aja. Gue nanti deh, pas anak ROHIS.”
Berhubung ROHIS itu bukan ekskul melainkan organisasi, para anggotanya pun tak tampil terang-terangan unjuk kebolehan di lapangan hanya untuk menjaring anggota. Jadi, harapan Ganis untuk ‘belanja’ kakak kelas saleh musnah sudah sekalipun ia nekat membuka mata untuk pertama kalinya sejak sesi demo ekskul dimulai. Apa mau dikata, memejamkan mata lagi tidak mungkin karena ternyata ekskul yang tampil selanjutnya benar-benar membuat mata Ganis melotot dan sulit untuk berkedip.
Capoeira?? Sekolah macam apa punya ekskul kayak gini?
Musik berirama latin serta-merta berkumandang melalui speaker yang terpasang di berbagai sisi gedung sekolah. Sekelompok siswa mulai melakukan gerakan martial art khas Amerika Latin dan menghanyutkan semua orang dengan keindahan koreografi mereka yang penuh semangat. Beberapa dari mereka bergoyang, menari dan saling menyerang dalam pola gerakan yang indah seperti halnya penari capoeira sungguhan. Nyaris tanpa cela.
Saat menikmati penampilan itu, Ganis sadar ia tak bisa bernapas dengan benar. Sekalipun kadang ia masih bisa mendengar para siswi riuh memanggil-manggil sosok pemuda tampan yang baru saja melakukan gerakan akrobatik di atas tubuh anggota capoeira yang lain, Ganis paham betul tubuhnya kini sedang tidak berada pada kondisi normal. Seketika panas matahari menyebar turun dari kepalanya menuju wajah. Menghantarkan kobaran yang tidak pernah bisa Ganis hentikan. Ia tahu ini mungkin gejala heatstroke karena kepalanya terlalu lama berada di bawah sinar matahari langsung. Tetapi agaknya Ganismerasa lebih pas menyebut ini heartstroke sejak jantungnya berdegup kencang menantang tatapan tajam pemuda itu. Seorang siswa kelas dua berwajah latin yang memperkenalkan diri sebagai ketua ekskul capoeira sesaat setelah menyelesaikan demonya.
“Kalau mau gabung, bisa datang ke kelas saya di 2 IPS 1. Langsung ketemu saya, Marky atau ke 2 IPA 2 ketemu Randy. Terima kasih.”
Damn!
Ganis langsung tahu ia jatuh cinta dengan yang namanya Marky.


            Bagi Ganis, Marky itu Dewa Cinta.
            Hampir tak ada perempuan yang bisa menolak pesonanya sekalipun Ganis yakin Marky bukan tipe cowok keren yang haus popularitas. Tanpa perlu banyak gaya, Marky bisa saja dengan mudah menundukkan lawan jenis. Tubuh atletis karena rajin olahraga ditambah wajah latin percampuran antara Italia dan Jawa yang selalu tampak ‘cowok banget’, berhasil memikat banyak perempuan di sekolah. Tak terkecuali Elana, si primadona sekolah yang terkenal karena sering wara-wiri di berbagai majalah sebagai fotomodel dan anak pengacara handal. Meski sudah ‘ditembak’ tujuh cowok berbeda dalam satu semester, anehnya Elana tetap tak berhenti mengincar Marky.
            Singkat cerita, Marky pantas dipuja wanita. Tak hanya karena keindahan fisiknya saja yang memukau, secara prestasi pun ia cukup menjanjikan. Selain jago olahraga, dalam pelajaran sekolah nilainya cukup memuaskan. Belum lagi aktif organisasi ini-itu baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Sikapnya pun dikenal ramah, rendah hati dan penolong sehingga banyak orang ingin menjadi temannya. Berdasarkan semua kualifikasi itu, Ganis memutuskan bahwa Marky lebih dari sekadar calon suami idaman, tetapi Marky adalah cinta sejatinya. Entah apa tolok ukurnya, Ganis yakin betul Marky adalah jodoh yang dikirimkan Tuhan untuknya.
            Keyakinan itu lantas membuat hari-hari SMA Ganis selalu dipenuhi keceriaan tanpa batas sejak melihat Marky pada hari ke-3 di sekolah. Tawanya selalu merekah setiap kali menjejakkan kaki di gerbang sekolah dan tak pernah terburu-buru ingin meninggalkannya, meski penjaga sekolah kerap kali mengusir Ganis untuk pulang tepat waktu. Selain itu, Ganis juga nyaris tak pernah datang terlambat dan stand by di balkon kelasnya pada pukul tujuh kurang lima belas untuk menjadi saksi mata adegan Marky memasuki kelasnya di lantai dua yang tepat berseberangan dengan kelas Ganis di lantai tiga. Bagi Ganis, adanya lapangan basket yang memisahkan keberadaan mereka saat jam pelajaran, sama sekali tidak menghalangi koneksi batin antara dirinya dan Marky. Buktinya, dalam sehari ia bisa bertemu Marky beberapa kali di berbagai sudut sekolah mereka yang amat luas, meski tidak janjian sebelumnya. Ya, mana bisa janjian kalau berkenalan pun tidak pernah?
            “Gue malu, Nay. Kalau disuruh saingan sama cewek rakyat jelata juga, gue sih siap di jajaran terdepan! Tapi kalau saingan gue cewek yang cantiknya berlebihan kayak Elana, gue udah kalah telak di medan perang. Mending pakai strategi gerilya aja yang masih bisa nikung dari belakang dan nyelamatin muka gue di depan lawan,” tukas Ganis suatu kali saat teman sebangkunya, Nayla, meminta Ganis untuk berhenti mengagumi Marky dari jauh dan mulai melakukan pendekatan secara terang-terangan agar tidak disalip oleh Elana.
Oleh sebab itu, strategi perang diam-diam a la Ganis sudah rapi disusun dalam sebuah buku diary bernama Kitab Cinta. Isinya tak lain adalah setiap momen berharganya bertemu dengan Marky, meski tak sepatah katapun pernah terlontar secara langsung di antara mereka. Ganis tahu, satu-satunya cara agar tetap menjaga kesempatan untuk dekat dengan Marky tanpa takut dicela adalah menjadi seorang stalker. Ia menguntit Marky ke manapun pergi di lingkungan sekolah dan menuliskannya dalam Kitab Cinta. Mulai dari biodata lengkap, hobi, kebiasaannya ketika istirahat, makanan favorit, teman sepermainan, kegiatan di luar sekolah, pelajaran yang disukai, nomor ujian, nomor sepatu, nomor ponsel, akun Friendster, alamat rumah hingga pelat nomor motor bebek yang selalu setia mengantar cowok itu ke sekolah sudah lengkap dicatat Ganis. Saking tak ingin kehilangan momen catat-mencatatnya, Ganis bahkan rela datang ke sekolah di hari Sabtu – meski dirinya libur – hanya untuk memantau perkembangan Marky latihan capoeira. Itulah mengapa, bagi Ganis hari libur sekolah adalah penderitaan karena mengurangi waktunya untuk bisa bertemu Marky.
Demi Tuhan, Marky memang benar-benar membuat Ganis kehilangan kewarasan.


Siang, sekitar awal 2006.
“Ganisyong, ada pertandingan bola antar angkatan, nih! Nonton yuk pas jam istirahat makan siang! Yang main kelasnya Kak Rey, lho,” lontar Nayla kencang. Ia dan Ganis memang terbiasa merumpi tentang kakak kelas rupawan. Tetapi mereka tak pernah membahas Marky terang-terangan karena Ganis sudah keburu ‘menyegel’ mulut Nayla agar tak membicarakan apa pun yang negatif tentang pujaan hatinya.
“Nggak minat sama Kak Rey. Kayak playboy. Senyum sana-sini mirip salesman,” balas Ganis sambil membuka majalah yang memampang wajah Elana sebagai sampulnya.
Nayla melemparkan buntelan kertas ke wajah Ganis. “Yaelah. Gue tahu elo sukanya sama si Itali gambreng itu. Tapi jangan ngata-ngatain idola gue playboy, dong! Memangnya ‘Si Sepidol’ nggak playboy? Ganteng gitu masa nggak punya pacar?” seru Nayla curiga. Ia selalu menyebut Marky dengan julukan ‘Si Sepidol’ karena baginya nama gebetan Ganis itu mirip sebuah merek spidol terkenal.
Ganis mendengus pelan. “Tenang, dia masih jomblo. Nungguin gue kayaknya. Bahkan, ‘Si Celana’ aja nggak bisa nundukkin dia. Berarti posisi gue aman,” kata Ganis sembari menaikkan kedua alisnya genit.
Wait! Kalau Elana yang cantik-tajir-seksi gitu aja nggak dilirik, gimana elo?”
JEDUG!
Tanpa aba-aba, Ganis sudah menggetok kepala Nayla dengan majalahnya. “Heh! Kecengan gue nggak mudah terpikat sama cewek modal duniawi kayak Elana.”
“Jadi, maksud lo Marky cari cewek yang berorientasi akhirat kayak elo gitu? Lebih nggak mungkin lagi. Pantesan dia jomblo. Sebenarnya dia itu cowok normal nggak, sih?”
Tanpa aba-aba, Ganis langsung membungkam mulut Nayla yang ‘celamitan’ dengan tisu. Takut ada teman-teman lain yang mendengar siapa objek yang sedang mereka bicarakan. Padahal, Ganis sudah mati-matian merahasiakan statusnya sebagai pemuja Marky karena tak mau dicibir rakyat SMA-nya sebagai ‘Babu merindukan Tuan’. Bisa kelam sisa masa SMA-nya nanti. Tapi kalau dipikir-pikir, kecurigaan Nayla ada benarnya juga. Mengapa hampir setahun Ganis satu sekolah dengannya, Marky tak pernah sekalipun terlihat mendekati seorang perempuan? Jaga image? Jaga diri? Jaga gengsi? Jaga standar yang ketinggian?
Atau…
“Dia normal, kok. Gue yang akan buktiin,” tukas Ganis mengakhiri percakapan dan sukses membuat Nayla menganga selebar-lebarnya.


Awal 2007. Marky sudah kelas tiga.
Hampir tidak terhitung lagi kejadian apa saja yang sudah Ganis catat dalam Kitab Cinta selama nyaris dua tahun belakangan. Bahkan, sekarang setiap catatan ditambahkan dengan selipan foto candid yang diambil dari kamera ponsel semenjak Ganis ketahuan petugas tata usaha sedang berusaha mencomot pas foto Marky yang menjadi dokumen administrasi sekolah. Jadi, biar aman Ganis melakukan dokumentasi pribadi untuk melengkapi data agar tambah akurat. Meskipun hasil fotonya jelek, toh ketampanan wajah eksotis Marky tidak pernah terbantahkan. Setidaknya, bagi Ganis yang selalu menjerit-jerit begitu berhasil menangkap sosok Marky melalui kameranya.
Pertengahan Februari, musim ujian pun sudah dimulai. Itu pertanda sudah waktunya Ganis mengubah strategi gerilya menjadi emansipasi wanita sebelum Marky benar-benar lulus SMA. Setidaknya, Ganis harus mulai pensiun jadi pengagum rahasia dan muncul ke permukaan agar memberikan kesan mendalam pada Marky sebelum perpisahan menjelang. Ganis tahu ini sangat berat. Selama ini ia tidak pernah punya cukup keberanian untuk menampakkan diri di hadapan Marky dalam dunia nyata, dan hanya mampu mengangankan Marky dari alam bawah sadarnya. Tapi, percobaan harus tetap dilaksanakan sekalipun semuanya mengalami kegagalan total.
Dimulai dari kue Valentine yang Ganis selipkan khusus di laci meja Marky saat masih pagi buta, justru berakhir di perut teman sebangku Marky yang kelaparan. Belum lagi kartu ucapan handmade yang menampilkan karikatur wajah Marky dalam ekspresi boyish yang selama ini Ganis perhatikan, sukses ditertawakan teman sekelas Marky karena dianggap gayish alias mirip gay gara-gara bentuk badannya dalam gambar itu terlalu berotot. Tidak hanya sampai di situ. Kado ulang tahun Marky yang oleh Ganis dibungkus tas plastik keresek warna hitam dan digantungkan di motor bebek Marky sebelum jam pulang sekolah agar tidak mencurigakan, nyatanya malah dikira bom oleh satu sekolahan. Akibatnya, kado itu ditinggalkan pemiliknya dan tak pernah disentuh lagi hingga akhirnya dipungut oleh satpam, dan sukses menghunjam bak sampah.
Sampai di sini, tadinya Ganis ingin menyerah. Namun, dukungan Nayla membuat Ganis tahan malu. Ia menggunakan bakat terpendamnya sebagai penulis fiksi untuk mengarang sebuah cerita bersambung di mading sekolah dengan deskripsi tokoh utama persis Marky dan dirinya. Tapi nama tokoh dan penulis tetap disamarkan, meski kebanyakan orang yang membacanya telah sadar tokoh utama pria dalam cerita itu adalah Marky. Akibatnya, para siswa dan guru kompak menduga ada seorang siswi yang punya penyakit obsesi cinta kronis, lalu nekat curhat di mading untuk misi ‘penembakan’ tidak bertanggung jawab. Baru sampai empat jilid dimuat, cerita bersambung itu dicopot paksa oleh massa.
Oke, semua senjata Ganis luluh lantak ‘dibumi-hanguskan’ oleh warga sekolah.
“Aduh, gue udah nggak bisa lagi nyoba terang-terangan bilang suka sama dia. Udah nggak punya muka nih gue,” kata Ganis di sela-sela jam istirahat di kantin. Ia mengaduk kuah mie ayam sambil menguap malas karena udara mendung langsung membuatnya mengantuk.
“Masa baru gini udah nyerah?” tukas Nayla sambil meminum jus di sebelah Ganis. “Katanya lo serius cinta sama dia? Lo yakin nggak mau bilang sampai kapanpun juga? Bentar lagi doi lulus, lho. Jangan sampai entar lo menyesal nggak bisa ketemu dia lagi!”
Pandangan Ganis menerawang menuju lapangan basket yang bersebelahan dengan kantin. Di sana ada Marky yang cuek makan bakso sambil sesekali menendang bola dari pinggir lapangan. Aura boyish-nya selalu berhasil memikat Ganis dari jarak berapa pun.
“Iya juga, sih. Gue pengen kenal dia, pengen akrab, pengen jalan bareng ngabisin waktu sama dia. Tapi gue nggak pede, Nay. Kalau bicara aliran kebatinan, gue sama dia punya chemistry bawah sadar yang menakjubkan. Jantung gue selalu bergetar kalau merasa dia itu ada di dekat gue. Tapi kalau udah digeser ke kehidupan nyata, benar-benar nggak nyambung. Lihat aja, latar belakang kita berdua udah beda. Kasta, tampang, popularitas, prestasi dan pergaulan gue sama dia udah kayak babu sama tuan. Beda rating.”
“Level, kali! Lo pikir kalian berdua acara TV? Udah deh, lo tuh kebanyakan pertimbangan. Nggak usah gengsi. Masa dua tahun suka sama orang, sama sekali nggak ada kemajuan kayak gini? Mana nggak kenal orangnya pula!” protes Nayla.
Alis Ganis berkerut, mencoba introspeksi diri. “Benar sih, Nay. Terus, gue harus gimana? Ngajak kenalan dia? Ah, tapi gue takut ditolak. Gue nggak mau patah hati!” rengek Ganis seperti anak kecil sedang merajuk minta dibelikan mainan.
“Eh, cuma kenalan doang nggak mungkin ditolak. Pelan-pelan aja dulu. Jangan langsung tembak. Biar dia nggak serem sama lo,” ucap Nayla yang ditanggapi Ganis dengan anggukan mantap.
Selama ini Ganis selalu meminta petuah dari Nayla karena temannya satu itu punya daya analisis yang kuat, meski dalam bidang daya khayal Ganis tetap lebih unggul. Tapi sebanyak apa pun Ganis bertanya, Nayla hanya menyerukan satu jawaban: kenalilah Marky. Jawaban yang sangat mudah, tetapi sangat sulit Ganis lakukan. Ia selalu merasa mengenal Marky lebih dari siapapun melalui semua catatan dalam Kitab Cinta yang ditulisnya. Namun, semua itu hanya berdasarkan khayalannya semata dan pengamatan dengan sudut pandang yang dihiasi cinta sepihak. Padahal, belum tentu dalam dunia yang sebenarnya Marky itu seindah bayangannya. Hal inilah yang membuat Ganis selalu takut untuk sungguhan mengenal Marky. Ia takut Marky tidak tampak sempurna lagi di matanya. Takut menghadapi kenyataan bahwa Marky adalah manusia biasa dan bukanlah Dewa Cinta yang ia impikan.
“Jadi, kapan mau kenalan sama Marky?”
Pikiran Ganis langsung melayang membayangkan wajah Marky ada di hadapannya sambil mengulaskan sebuah senyum menenangkan. Setiap kali membayangkan senyum ini, hati Ganis langsung berdesir.
“Segera saat kesempatan itu datang. Kalau waktunya udah tepat, gue akan kejar dia sampai dapat!”
Hingga lima tahun berselang, tenyata kesempatan itu belum juga merapat.

to be continued...                                                                                   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar