SATU
Antara iri dan takjub
“Kamu
cantik banget sih, Bar?”
Ganis
mengeluarkan sebongkah lap kanebo
berwarna pink yang telah digunting
dua, lalu menyibakkannya ke bodi motor matik berwarna pink metalik yang terparkir di halaman carport rumahnya. Di Sabtu pagi begini, sudah menjadi jadwal rutin
bagi Ganis untuk berkencan dengan si motor yang diberi nama Barbara Pinky Candy
Sholehah karena dirinya tak punya pacar. Menurut Ganis, Barbar – panggilan
akrab Barbara – akan menjadi pacarnya yang paling setia karena 24 jam bisa
dipastikan selalu berada di dekatnya. Saking dekatnya mereka berdua, Ganis
bahkan rela mencoba untuk sehidup-semati dengan Barbar. Salah satunya adalah
meniru kebiasaan Barbar, yaitu mandi seperlunya. Kalau tak ada urusan penting,
mandi bisa di-pending. Dan hari ini,
niat Ganis adalah mandi bersama Barbar setelah selama sebulan penuh Barbar
dibiarkan mendamba hujan untuk memandikannya gratisan. Berarti momen
mandi-mandian ini bisa dibilang untuk menjaga keharmonisan dan silaturahmi
antara pekerja dan majikan, meski tak jelas siapa yang kerja untuk siapa.
“Kak
Ganiiis, handphone lo bunyi, nih!”
teriak Andhita dari balik dapur sembari menenteng ponsel Ganis yang berlapis
silikon pink dengan wajah jijik. Ia
berjingkat-jingkat perlahan mendekati Ganis yang masih asyik menggosok ban
Barbar dengan penuh penghayatan. “Buruan diangkat! Dari Inggrid, tuh,” kata
Andhita lagi.
Ganis
serta-merta mendongakkan kepala dan mengernyitkan dahi. “Ah, seriusan lo?”
Tanpa banyak ‘cing-cong’, Ganis langsung melonjak dan segera merampas ponselnya
dari tangan sang adik setelah sebelumnya melempar kanebo ke sembarang arah. “Halo? Halo?”
“Helow?”
Suara perempuan di seberang sana terdengar lembut.
“Hello, this is Ganisya speaking. Are you
Inggris? I mean you… you from England?”
Suara
di seberang telepon langsung berubah kaku. “Halo, Ganis?”
“Yes! This is me, Ganisya Rahmadiani Hudianto.
Are you from UK? England, England. Inggris
itu lho, Mbak!” kata Ganis frustrasi, lantaran si lawan bicara tidak responsif.
“Inggris??
Inggris pale loe! Gue INGGRID! Gile, ya? Baru juga tiga bulan nggak kuliah,
otak lo udah gawat tumpulnya. Buruan deh Nis, elo kerja. Jangan nganggur di
rumah terus!” ujar Inggrid galak dengan gayanya yang sok tahu.
“Ng…”
Mendengar
suara salah satu teman kuliahnya berbunyi di ujung telepon, wajah Ganis yang
tadinya ceria langsung bermuram durja. Wajar. Sudah beberapa hari ini Ganis
menunggu telepon interlokal dari Inggris untuk memberinya konfirmasi beberapa
hal penting. Tidak tahunya, telepon pertama pagi ini hanya dari seekor makhluk sok
penting yang tiba-tiba memporak-porandakan masa inkubasi Ganis selepas lulus
kuliah.
Tuuut…
tuuut… tuuut…
Ganis
memutuskan sambungan telepon. Bete.
Tidak
terasa, sudah tiga bulan ini Ganis jadi pengangguran tulen. Bukan karena belum
mendapatkan pekerjaan, tetapi justru menghindari kerjaan. Menurutnya, ini
pilihan hidup. Di saat teman-teman seangkatannya sibuk cari kerja setelah
wisuda S1 untuk balik modal biaya kuliah, Ganis malah ongkang-ongkang kaki di
rumah. Capek kerja, katanya. Maklum, selama ini sesungguhnya Ganis tidak pernah
benar-benar menikmati masa kuliah karena ia menasbihkan diri sebagai mahasiswa
mata duitan yang tak bisa menyia-nyiakan kesempatan mengais rezeki di masa muda
penuh tenaga. Kalau cuma jual pulsa, kue subuh, kosmetik multi level marketing atau jadi calo tiket konser, jelas Ganis
sudah khatam. Ia bahkan memanfaatkan Barbar untuk ngojek antar jemput temannya pulang-pergi
dari kos ke kampus, jual jasa mengerjakan tugas mahasiswa tajir yang ke kampus
cuma modal tampang, jadi tukang rias nikahan massal hingga jadi bintang reality show dan ‘banci’ kuis di TV.
Semua Ganis jalani hanya untuk satu tujuan: ING…
“INGGRID
LAGI?!” Ganis melotot melihat ponselnya bergetar hebat dan memampang nama temannya
itu sekali lagi. “Halooo?? Ada apa sih, Nggrid?”
Terdengar
suara Inggrid misuh-misuh. “Heh! Telepon gue kok diputus sembarangan, sih?? Gue
kan belum ngomong apa-apa, Nis!”
Ganis
menelan ludahnya malas. “Ya ampun! Maaf, ya? Gue lagi di pengajian, nih.
Bentaran lagi ya, teleponnya?” bohong Ganis sembari menjauhkan ponselnya dari
telinga dan berharap Inggrid tidak lantas menjerit-jerit protes.
“Wuih!
Sejak kapan lo ke pengajian? Jangan-jangan… lo ngeduluin Nitnit?” duga Inggrid
curiga.
Mata
Ganis memicing bingung. “Ngeduluin Nitnit apaan, sih?”
“Eh,
lo! Masih ingat nggak sih sama geng PARJOK kita?”
JLEP!
Ganis
mulai merasa topik yang dibawakan Inggrid tidak akan membuat mood-nya membaik setelah gugatan Inggrid
atas pilihan hidupnya menjadi pengangguran.
“PARJOK?
‘Partai Jomblo Sedari Orok’ maksud lo? Hmm, iya gue nggak mungkin lupa.
Kenapa?” tanya Ganis malas, tidak berminat.
Well, sebenarnya Ganis tidak suka jika harus mengungkit
kenangan konyol mendirikan sebuah geng yang semua anggotanya adalah jomblo
kronis seperti PARJOK ini. Dulu waktu masih mahasiswa baru, PARJOK jadi geng
lucu-lucuan sekelompok cewek-cewek di jurusan Komunikasi yang punya track record menjomblo sedari bayi alias
belum pernah pacaran sama sekali. Tetapi menjelang dewasa, apalagi setelah lulus
kuliah, masih tergabung dalam geng ini adalah kisah yang memilukan. Masa iya, hampir
empat tahun kuliah di kampus gaul dengan banyak cowok kece, belum ada satu pun
di antara mereka yang mentas dari kubangan bernama JOMBLO?
“Huaaa!
Gue panik, Nis! Nitnit dilamar oraaang!!” Teriakan Inggrid membahana.
“Haaah?!”
Ganis ikutan histeris karena salah satu temannya di PARJOK disebut. “Kok bisa?!
Kapaaan??” Wajah Nitnit yang sok imut mengenakan kebaya lamaran sudah
melayang-layang di benaknya. Bikin Ganis ikutan kesal.
Inggrid
berusaha mengatur napasnya yang kejar-kejaran. “Besok siang! Eh, kok lo
teriak-teriak? Kan elo lagi di pengajian!”
Dengan
cepat, Ganis mengeluarkan keahlian ‘bersulap’ lidah alias ‘ngeles’. “Ehe, iya.
Ini pengajiannya di TV, kok. Terus, terus… gimana?!” serunya penasaran.
“Pfiuh!
Sekarang lo buruan siap-siap ke Starbucks PIM (baca: Pondok Indah Mall) jam
satu, ya? Please, be on time!”
Ganis
melongo. “Nitnit lamaran di Starbucks?”
“Bukan!
Kita perlu rapat intern Parjokers untuk membahas AD/ART. See you!”
Tuuut…
tuuut… tuuut…
Dengan
semena-mena, kali ini Inggrid yang memutuskan sambungan telepon.
Cool.
Ganis
sukes dibuat tidak percaya dengan segala kenyataan yang menghadang. Belum
sempat ia menikmati masa rehat kuliah dengan berleha-leha, kini Ganis malah
harus menghadapi takdir bahwa ia bukanlah orang pertama yang lulus dari PARJOK.
Entah ini penghinaan atau penyemangat, yang jelas Ganis kecewa. Rencana yang
sudah disusun sejak empat tahun lalu itu benar-benar bukan rencana kacangan
yang bisa ditikung seperti ini. Nitnit memang beruntung dilamar duluan, tetapi
Ganis tahu ia tak bisa menunggu untuk keberuntungan yang sama.
* * *
Starbucks
PIM tidak ubahnya warung kopi pinggir jalan kalau sudah dipenuhi para ‘jomblowati
seabad’ macam Parjokers. Bukan karena mereka gegilaan kopi seperti abang-abang
pencandu begadang siang-malam, tetapi karena gosip dan ‘cit-cit-cuit’ mereka
jauh lebih ramai daripada jumlah kopi yang mereka pesan. Sebenarnya jumlah Parjokers
ada sebelas, tetapi yang bisa hadir siang ini hanya enam, dan yang memesan
minuman hanya Inggrid dan Fathya. Sisanya? Opie tak bisa minum kopi, Dessy
sedang diare, Jena diet caffeine dan
Ganis bokek. Alhasil biar tak malu, mereka pura-pura membeli banyak minuman
dengan cara memindahkan gelas-gelas kosong yang tak dibuang oleh meja sebelah
ke meja mereka di pojok ruangan untuk sekadar jaga gengsi.
Setelah
suasana aman, rapat PARJOK dimulai dan semua anggota sudah ribut dengan
sendirinya. Sejujurnya Ganis tidak tahu maksud pertemuan mendadak ini. Tapi
yang jelas, ia mendapati tatapan iri teman-teman se-gengnya ini sama kuatnya
dengan dirinya. Ya, sama-sama tidak terima kalau sobat mereka yang sama-sama
jomblo sejak lahir bernama Nitnit itu kini siap jadi istri orang.
Terus,
kenapa? Memangnya Nitnit salah apa sampai PARJOK harus bikin rapat segala demi
membahas acara lamaran dia? Panitia juga bukan. Jadi, situasi yang paling
pantas untuk menggambarkan nuansa rapat kali ini adalah iri sekaligus takjub.
Dua puluh dua tahun menjomblo bersama, jika seorang di antara mereka melepaskan
diri, tentu menyulut reaksi dongkol berkepanjangan. Lantas kalau teman menikah
duluan, apakah Parjokers lain lalu merasa tersinggung dan harus buru-buru
menikah juga? Sarap!
“Sesuai
perjanjian kita waktu kuliah dulu, orang pertama yang lolos dari PARJOK akan
mendapatkan piala bergilir dan privilege
berupa kejutan dari anggota yang masih aktif,” kata Fathya berusaha bersikap
netral, meski sejujurnya hatinya terpecah-belah.
Jena
menyela. “Kejutan apa? Kado bulan madu?”
“He?!
Mahal amat! Mending pesta bujang. Sini, gue datangkan tuh artis-artis Korea
favoritnya Nitnit, terus suruh nari-nari di depan kita!” sergah Ganis licik dan
diam-diam mengeluarkan botol air mineral berbentuk infus berwarna pink dari dalam tasnya, lalu menenggak
isinya sampai habis.
Mendengar
itu, impuls Inggrid menyenggol lengan Ganis hingga tersedak. “Geblek! Siapa
juga yang mau ngadoin begituan? Kita bikin kejutan aja di resepsi nanti dengan
bawa pacar masing-masing.”
Semua
sontak mangap. “PACAR?”
Gara-gara
teriakan itu, mereka kini sukses dilirik sinis para pelanggan Starbucks di meja
sebelah yang terganggu dengan ke-‘lebay’-an para Parjokers.
Dasar cewek-cewek nggak punya adab.
“Etdah!
Beli di mana, gue?” Jena berteriak histeris seakan yang panik akan
ke-‘tidakpunyaan’-nya itu cuma dia. Padahal, semua pun merasakan kegalauan yang
sama.
Opie
angkat bicara. “Sembarangan lu, Nggrid! Kecengan aja masih mendamba. Mana
disuruh bawa pacar pula? Alamat gue nggak datang aja, deh.”
Sambil
menahan sakit di perutnya gara-gara masih diare, Dessy memberikan saran. “Eh,
sandiwara aja, yuk! Kayak di film Korea. Jadi, kita pinjem cowok orang atau
siapa aja yang bisa digandeng. Pokoknya yang penting Nitnit senang kalau lihat
kita senang juga,” celetuk Dessy dengan tampang datar dan berkata ‘mustahil’
kepada dirinya sendiri.
Mendengar
saran yang sama sekali tidak memberikan solusi semacam itu, Parjokers sibuk
memutar otak. Wajah mereka kompakan jadi kusut seperti tengah ikut ujian SPMB.
Tapi ternyata di saat yang lainnya gusar, Ganis malah berusaha meningkatkan
semangat ke dirinya sendiri dan merasa masih punya harapan.
“By the way, nikahannya kapan, sih?
Bentar lagi ya?” tanya Ganis polos.
Tatapan
Inggrid menelisik. “Lamaran besok, nikahnya katanya bulan Agustus. Tuh kan,
sekarang udah Mei. Apa kabar kita semua??” sembur Inggrid panik. Ia menyeruput caramel latte-nya hingga habis dan
mengelap mulutnya cadas.
Seperti
tanpa beban, Ganis menghela napasnya mendalam dan penuh determinasi seakan
hendak menunjukkan energi yang ia miliki. “Oke. I will.”
“MAKSUDNYA??”
Para
Parjokers di meja mereka mangap mendengar kalimat terakhir Ganis.
Hening.
Bukannya
menjawab, Ganis justru cengar-cengir sambil terdiam dalam beku. Baginya, mengungkit
lagi soal kisah-kasihnya tujuh tahun lalu di saat ‘hidup dan mati’ para jomblo
ditentukan begini, bukanlah merupakan pilihan tepat. Bisa jadi, teman-teman
se-gengnya nanti malah mati-matian menenggak kopi supaya terjaga untuk terus
mendengarkan alunan dongeng dari mulut Ganis yang mengiris hati.
“Next week, gue akan menjalankankan misi London Calling yang waktu dulu pernah
gue ceritain ke kalian,” ucap Ganis penuh teka-teki. Tatapannya menghambur ke
seluruh Parjokers dan sengaja memberikan ruang bertanya di sana.
“Hah?”
Tak
ada seorang pun di antara Parjokers yang mengerti dengan ocehan Ganis barusan.
Meski terdengar optimis, bagi mereka itu meaningless.
Setidaknyajika dikaitkan dengan kebiasaan Ganis mengumbar guyonan garing hanya
untuk ditertawakan oleh para Parjokers yang gemar bicara cablak.
“I’ll backpacking… to London,” lanjut
Ganis sok diplomatis.
“Ng…??”
Sudah
capek-capek memilih padanan kata yang dramatis, nyatanya Parjokers masih tidak
nyambung juga. Dikiranya Ganis masih mencoba nge-‘garing’.
“Coba
lagi ya, Nis! Hehe.” Jena menepuk pundak Ganis dan menyuruh temannya itu
mencoba sekali lagi dengan banyolan yang lebih tinggi nilai humornya.
Barulah
ketika Ganis mengeluarkan open ticket
pesawat Jakarta-London untuk Rabu depan dari dalam ransel Jansport warna toska
miliknya, Parjokers mulai histeris. Tiket pesawat – yang sudah ia pesan
jauh-jauh hari dan tadi baru saja diambil di travel agent – itu dibawa keliling
ke seluruh Parjokers dan masing-masing dari mereka mantap menganga sambil
jerit-jerit frustrasi. Jelas Ganis bengong. Ia kan hanya menunjukkan sebuah
tiket pesawat, bukan sebuah undangan pernikahan layaknya Nitnit. Tetapi,
mengapa reaksi Parjokers justru lebih galau dari sekadar mendapat ‘tugas’ untuk
mencari pacar?
Ternyata
jawabannya adalah: mereka tak terima bahwa Ganis ‘si pengangguran’ bisa punya
bujet untuk traveling ke salah satu
kota yang dikenal paling mahal di dunia itu!
Saking
tak percayanya, Jena bahkan menduga Ganis baru saja mendapat warisan. Belum
lagi Fathya yang curiga bahwa Ganis memang sengaja mau menjadi TKW, makanya
ogah melamar kerja ke perusahaan di Indonesia. Tapi anehnya, Opie dan Dessy
justru menyangka Ganis baru saja menelan pil koplo lantaran misi pergi ke
London tak ada hubungannya dengan mencari pacar.
Oke,
sampai di sini Ganis speechless. Tapi
sepertinya ia harus buru-buru buka suara untuk menanggapi kekesalan Inggrid, si
biang ‘rempong’ yang tak ada duanya.
“Terus?
Ada keajaiban apa tiba-tiba lo ke London? Bacpacking
pula! Bukannya susah ya, Nis? Kita aja mau backpacking-an
ke Raja Ampat nggak jadi-jadi gara-gara nggak ada duit. Lagi pula,
elo kan…” pengangguran, Inggrid
melanjutkan dalam hati.
Mendengar
ini, Ganis hendak mengalihkan bahan pembicaraan. “Eh, nggak jadi ngomongin soal
Nitnit lagi? Kita kan rapat buat…”
“SSSTTT!!”
Fathya mendesis galak. Tidak ingin diinterupsi. “Ceritain dulu London-London lo
itu! Bikin ‘kepo’ aja. Buruan!”
Tawa
Ganis kemudian merekah, bertolak belakang dengan ucapannya yang mulai membuat
ingatan Parjokers melayang pada insiden tiga tahun lalu.
“Ingat
Kitab Cinta yang gue bawa waktu Dasteran
Party di rumah Opie pas semester tiga?”
Nada suara Ganis melemah, tapi senyumnya tak pernah lepas. Seakan ingin
menguatkan hatinya yang mulai ternoda dengan segores luka lama.
Parjokers
saling berpandangan. Entah mengapa suasana rusuh yang terbangun tadi, kini
malah menjadi sendu. Ganis pun melanjutkan dongengnya karena semua orang tak
percaya ia punya rencana besar selain sekadar melancong (baca: menggelandang)
ke London.
“FYI, I’ll never forget that ‘damn’ handsome Italian guy for all my life.”
Seiring
genderang dibunyikan, Parjokers tak akan bisa menghentikan guliran kisah ini
mengalir penuh daya. Bahkan, Ganis pun tidak sama sekali.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar