Rabu, 09 Oktober 2013

A Long Way to the London Bridge: Chapter 1


SATU
Antara iri dan takjub              

“Kamu cantik banget sih, Bar?”
Ganis mengeluarkan sebongkah lap kanebo berwarna pink yang telah digunting dua, lalu menyibakkannya ke bodi motor matik berwarna pink metalik yang terparkir di halaman carport rumahnya. Di Sabtu pagi begini, sudah menjadi jadwal rutin bagi Ganis untuk berkencan dengan si motor yang diberi nama Barbara Pinky Candy Sholehah karena dirinya tak punya pacar. Menurut Ganis, Barbar – panggilan akrab Barbara – akan menjadi pacarnya yang paling setia karena 24 jam bisa dipastikan selalu berada di dekatnya. Saking dekatnya mereka berdua, Ganis bahkan rela mencoba untuk sehidup-semati dengan Barbar. Salah satunya adalah meniru kebiasaan Barbar, yaitu mandi seperlunya. Kalau tak ada urusan penting, mandi bisa di-pending. Dan hari ini, niat Ganis adalah mandi bersama Barbar setelah selama sebulan penuh Barbar dibiarkan mendamba hujan untuk memandikannya gratisan. Berarti momen mandi-mandian ini bisa dibilang untuk menjaga keharmonisan dan silaturahmi antara pekerja dan majikan, meski tak jelas siapa yang kerja untuk siapa.
“Kak Ganiiis, handphone lo bunyi, nih!” teriak Andhita dari balik dapur sembari menenteng ponsel Ganis yang berlapis silikon pink dengan wajah jijik. Ia berjingkat-jingkat perlahan mendekati Ganis yang masih asyik menggosok ban Barbar dengan penuh penghayatan. “Buruan diangkat! Dari Inggrid, tuh,” kata Andhita lagi.
Ganis serta-merta mendongakkan kepala dan mengernyitkan dahi. “Ah, seriusan lo?” Tanpa banyak ‘cing-cong’, Ganis langsung melonjak dan segera merampas ponselnya dari tangan sang adik setelah sebelumnya melempar kanebo ke sembarang arah. “Halo? Halo?”
“Helow?” Suara perempuan di seberang sana terdengar lembut.
Hello, this is Ganisya speaking. Are you Inggris? I mean you… you from England?
Suara di seberang telepon langsung berubah kaku. “Halo, Ganis?”
Yes! This is me, Ganisya Rahmadiani Hudianto. Are you from UK? England, England. Inggris itu lho, Mbak!” kata Ganis frustrasi, lantaran si lawan bicara tidak responsif.
“Inggris?? Inggris pale loe! Gue INGGRID! Gile, ya? Baru juga tiga bulan nggak kuliah, otak lo udah gawat tumpulnya. Buruan deh Nis, elo kerja. Jangan nganggur di rumah terus!” ujar Inggrid galak dengan gayanya yang sok tahu.
“Ng…”
Mendengar suara salah satu teman kuliahnya berbunyi di ujung telepon, wajah Ganis yang tadinya ceria langsung bermuram durja. Wajar. Sudah beberapa hari ini Ganis menunggu telepon interlokal dari Inggris untuk memberinya konfirmasi beberapa hal penting. Tidak tahunya, telepon pertama pagi ini hanya dari seekor makhluk sok penting yang tiba-tiba memporak-porandakan masa inkubasi Ganis selepas lulus kuliah.
Tuuut… tuuut… tuuut…
Ganis memutuskan sambungan telepon. Bete.
Tidak terasa, sudah tiga bulan ini Ganis jadi pengangguran tulen. Bukan karena belum mendapatkan pekerjaan, tetapi justru menghindari kerjaan. Menurutnya, ini pilihan hidup. Di saat teman-teman seangkatannya sibuk cari kerja setelah wisuda S1 untuk balik modal biaya kuliah, Ganis malah ongkang-ongkang kaki di rumah. Capek kerja, katanya. Maklum, selama ini sesungguhnya Ganis tidak pernah benar-benar menikmati masa kuliah karena ia menasbihkan diri sebagai mahasiswa mata duitan yang tak bisa menyia-nyiakan kesempatan mengais rezeki di masa muda penuh tenaga. Kalau cuma jual pulsa, kue subuh, kosmetik multi level marketing atau jadi calo tiket konser, jelas Ganis sudah khatam. Ia bahkan memanfaatkan Barbar untuk ngojek antar jemput temannya pulang-pergi dari kos ke kampus, jual jasa mengerjakan tugas mahasiswa tajir yang ke kampus cuma modal tampang, jadi tukang rias nikahan massal hingga jadi bintang reality show dan ‘banci’ kuis di TV. Semua Ganis jalani hanya untuk satu tujuan: ING…
“INGGRID LAGI?!” Ganis melotot melihat ponselnya bergetar hebat dan memampang nama temannya itu sekali lagi. “Halooo?? Ada apa sih, Nggrid?”
Terdengar suara Inggrid misuh-misuh. “Heh! Telepon gue kok diputus sembarangan, sih?? Gue kan belum ngomong apa-apa, Nis!”
Ganis menelan ludahnya malas. “Ya ampun! Maaf, ya? Gue lagi di pengajian, nih. Bentaran lagi ya, teleponnya?” bohong Ganis sembari menjauhkan ponselnya dari telinga dan berharap Inggrid tidak lantas menjerit-jerit protes.
Wuih! Sejak kapan lo ke pengajian? Jangan-jangan… lo ngeduluin Nitnit?” duga Inggrid curiga.
Mata Ganis memicing bingung. “Ngeduluin Nitnit apaan, sih?”
“Eh, lo! Masih ingat nggak sih sama geng PARJOK kita?”
JLEP!
Ganis mulai merasa topik yang dibawakan Inggrid tidak akan membuat mood-nya membaik setelah gugatan Inggrid atas pilihan hidupnya menjadi pengangguran.
“PARJOK? ‘Partai Jomblo Sedari Orok’ maksud lo? Hmm, iya gue nggak mungkin lupa. Kenapa?” tanya Ganis malas, tidak berminat.
Well, sebenarnya Ganis tidak suka jika harus mengungkit kenangan konyol mendirikan sebuah geng yang semua anggotanya adalah jomblo kronis seperti PARJOK ini. Dulu waktu masih mahasiswa baru, PARJOK jadi geng lucu-lucuan sekelompok cewek-cewek di jurusan Komunikasi yang punya track record menjomblo sedari bayi alias belum pernah pacaran sama sekali. Tetapi menjelang dewasa, apalagi setelah lulus kuliah, masih tergabung dalam geng ini adalah kisah yang memilukan. Masa iya, hampir empat tahun kuliah di kampus gaul dengan banyak cowok kece, belum ada satu pun di antara mereka yang mentas dari kubangan bernama JOMBLO?
“Huaaa! Gue panik, Nis! Nitnit dilamar oraaang!!” Teriakan Inggrid membahana.
“Haaah?!” Ganis ikutan histeris karena salah satu temannya di PARJOK disebut. “Kok bisa?! Kapaaan??” Wajah Nitnit yang sok imut mengenakan kebaya lamaran sudah melayang-layang di benaknya. Bikin Ganis ikutan kesal.
Inggrid berusaha mengatur napasnya yang kejar-kejaran. “Besok siang! Eh, kok lo teriak-teriak? Kan elo lagi di pengajian!”
Dengan cepat, Ganis mengeluarkan keahlian ‘bersulap’ lidah alias ‘ngeles’. “Ehe, iya. Ini pengajiannya di TV, kok. Terus, terus… gimana?!” serunya penasaran.
“Pfiuh! Sekarang lo buruan siap-siap ke Starbucks PIM (baca: Pondok Indah Mall) jam satu, ya? Please, be on time!
Ganis melongo. “Nitnit lamaran di Starbucks?”
“Bukan! Kita perlu rapat intern Parjokers untuk membahas AD/ART. See you!
Tuuut… tuuut… tuuut…
Dengan semena-mena, kali ini Inggrid yang memutuskan sambungan telepon.
Cool.
Ganis sukes dibuat tidak percaya dengan segala kenyataan yang menghadang. Belum sempat ia menikmati masa rehat kuliah dengan berleha-leha, kini Ganis malah harus menghadapi takdir bahwa ia bukanlah orang pertama yang lulus dari PARJOK. Entah ini penghinaan atau penyemangat, yang jelas Ganis kecewa. Rencana yang sudah disusun sejak empat tahun lalu itu benar-benar bukan rencana kacangan yang bisa ditikung seperti ini. Nitnit memang beruntung dilamar duluan, tetapi Ganis tahu ia tak bisa menunggu untuk keberuntungan yang sama.

 * * *

Starbucks PIM tidak ubahnya warung kopi pinggir jalan kalau sudah dipenuhi para ‘jomblowati seabad’ macam Parjokers. Bukan karena mereka gegilaan kopi seperti abang-abang pencandu begadang siang-malam, tetapi karena gosip dan ‘cit-cit-cuit’ mereka jauh lebih ramai daripada jumlah kopi yang mereka pesan. Sebenarnya jumlah Parjokers ada sebelas, tetapi yang bisa hadir siang ini hanya enam, dan yang memesan minuman hanya Inggrid dan Fathya. Sisanya? Opie tak bisa minum kopi, Dessy sedang diare, Jena diet caffeine dan Ganis bokek. Alhasil biar tak malu, mereka pura-pura membeli banyak minuman dengan cara memindahkan gelas-gelas kosong yang tak dibuang oleh meja sebelah ke meja mereka di pojok ruangan untuk sekadar jaga gengsi.
Setelah suasana aman, rapat PARJOK dimulai dan semua anggota sudah ribut dengan sendirinya. Sejujurnya Ganis tidak tahu maksud pertemuan mendadak ini. Tapi yang jelas, ia mendapati tatapan iri teman-teman se-gengnya ini sama kuatnya dengan dirinya. Ya, sama-sama tidak terima kalau sobat mereka yang sama-sama jomblo sejak lahir bernama Nitnit itu kini siap jadi istri orang.
Terus, kenapa? Memangnya Nitnit salah apa sampai PARJOK harus bikin rapat segala demi membahas acara lamaran dia? Panitia juga bukan. Jadi, situasi yang paling pantas untuk menggambarkan nuansa rapat kali ini adalah iri sekaligus takjub. Dua puluh dua tahun menjomblo bersama, jika seorang di antara mereka melepaskan diri, tentu menyulut reaksi dongkol berkepanjangan. Lantas kalau teman menikah duluan, apakah Parjokers lain lalu merasa tersinggung dan harus buru-buru menikah juga? Sarap!
“Sesuai perjanjian kita waktu kuliah dulu, orang pertama yang lolos dari PARJOK akan mendapatkan piala bergilir dan privilege berupa kejutan dari anggota yang masih aktif,” kata Fathya berusaha bersikap netral, meski sejujurnya hatinya terpecah-belah.
Jena menyela. “Kejutan apa? Kado bulan madu?”
“He?! Mahal amat! Mending pesta bujang. Sini, gue datangkan tuh artis-artis Korea favoritnya Nitnit, terus suruh nari-nari di depan kita!” sergah Ganis licik dan diam-diam mengeluarkan botol air mineral berbentuk infus berwarna pink dari dalam tasnya, lalu menenggak isinya sampai habis.
Mendengar itu, impuls Inggrid menyenggol lengan Ganis hingga tersedak. “Geblek! Siapa juga yang mau ngadoin begituan? Kita bikin kejutan aja di resepsi nanti dengan bawa pacar masing-masing.”
Semua sontak mangap. “PACAR?”
Gara-gara teriakan itu, mereka kini sukses dilirik sinis para pelanggan Starbucks di meja sebelah yang terganggu dengan ke-‘lebay’-an para Parjokers.
Dasar cewek-cewek nggak punya adab.
“Etdah! Beli di mana, gue?” Jena berteriak histeris seakan yang panik akan ke-‘tidakpunyaan’-nya itu cuma dia. Padahal, semua pun merasakan kegalauan yang sama.
Opie angkat bicara. “Sembarangan lu, Nggrid! Kecengan aja masih mendamba. Mana disuruh bawa pacar pula? Alamat gue nggak datang aja, deh.”
Sambil menahan sakit di perutnya gara-gara masih diare, Dessy memberikan saran. “Eh, sandiwara aja, yuk! Kayak di film Korea. Jadi, kita pinjem cowok orang atau siapa aja yang bisa digandeng. Pokoknya yang penting Nitnit senang kalau lihat kita senang juga,” celetuk Dessy dengan tampang datar dan berkata ‘mustahil’ kepada dirinya sendiri.
Mendengar saran yang sama sekali tidak memberikan solusi semacam itu, Parjokers sibuk memutar otak. Wajah mereka kompakan jadi kusut seperti tengah ikut ujian SPMB. Tapi ternyata di saat yang lainnya gusar, Ganis malah berusaha meningkatkan semangat ke dirinya sendiri dan merasa masih punya harapan.
By the way, nikahannya kapan, sih? Bentar lagi ya?” tanya Ganis polos.
Tatapan Inggrid menelisik. “Lamaran besok, nikahnya katanya bulan Agustus. Tuh kan, sekarang udah Mei. Apa kabar kita semua??” sembur Inggrid panik. Ia menyeruput caramel latte-nya hingga habis dan mengelap mulutnya cadas.
Seperti tanpa beban, Ganis menghela napasnya mendalam dan penuh determinasi seakan hendak menunjukkan energi yang ia miliki. “Oke. I will.”
“MAKSUDNYA??”
Para Parjokers di meja mereka mangap mendengar kalimat terakhir Ganis.
Hening.
Bukannya menjawab, Ganis justru cengar-cengir sambil terdiam dalam beku. Baginya, mengungkit lagi soal kisah-kasihnya tujuh tahun lalu di saat ‘hidup dan mati’ para jomblo ditentukan begini, bukanlah merupakan pilihan tepat. Bisa jadi, teman-teman se-gengnya nanti malah mati-matian menenggak kopi supaya terjaga untuk terus mendengarkan alunan dongeng dari mulut Ganis yang mengiris hati.
Next week, gue akan menjalankankan misi London Calling yang waktu dulu pernah gue ceritain ke kalian,” ucap Ganis penuh teka-teki. Tatapannya menghambur ke seluruh Parjokers dan sengaja memberikan ruang bertanya di sana.
“Hah?”
Tak ada seorang pun di antara Parjokers yang mengerti dengan ocehan Ganis barusan. Meski terdengar optimis, bagi mereka itu meaningless. Setidaknyajika dikaitkan dengan kebiasaan Ganis mengumbar guyonan garing hanya untuk ditertawakan oleh para Parjokers yang gemar bicara cablak.
I’ll backpacking… to London,” lanjut Ganis sok diplomatis.
“Ng…??”
Sudah capek-capek memilih padanan kata yang dramatis, nyatanya Parjokers masih tidak nyambung juga. Dikiranya Ganis masih mencoba nge-‘garing’.
“Coba lagi ya, Nis! Hehe.” Jena menepuk pundak Ganis dan menyuruh temannya itu mencoba sekali lagi dengan banyolan yang lebih tinggi nilai humornya.
Barulah ketika Ganis mengeluarkan open ticket pesawat Jakarta-London untuk Rabu depan dari dalam ransel Jansport warna toska miliknya, Parjokers mulai histeris. Tiket pesawat – yang sudah ia pesan jauh-jauh hari dan tadi baru saja diambil di travel agent – itu  dibawa keliling ke seluruh Parjokers dan masing-masing dari mereka mantap menganga sambil jerit-jerit frustrasi. Jelas Ganis bengong. Ia kan hanya menunjukkan sebuah tiket pesawat, bukan sebuah undangan pernikahan layaknya Nitnit. Tetapi, mengapa reaksi Parjokers justru lebih galau dari sekadar mendapat ‘tugas’ untuk mencari pacar?
Ternyata jawabannya adalah: mereka tak terima bahwa Ganis ‘si pengangguran’ bisa punya bujet untuk traveling ke salah satu kota yang dikenal paling mahal di dunia itu!
Saking tak percayanya, Jena bahkan menduga Ganis baru saja mendapat warisan. Belum lagi Fathya yang curiga bahwa Ganis memang sengaja mau menjadi TKW, makanya ogah melamar kerja ke perusahaan di Indonesia. Tapi anehnya, Opie dan Dessy justru menyangka Ganis baru saja menelan pil koplo lantaran misi pergi ke London tak ada hubungannya dengan mencari pacar.
Oke, sampai di sini Ganis speechless. Tapi sepertinya ia harus buru-buru buka suara untuk menanggapi kekesalan Inggrid, si biang ‘rempong’ yang tak ada duanya.
“Terus? Ada keajaiban apa tiba-tiba lo ke London? Bacpacking pula! Bukannya susah ya, Nis? Kita aja mau backpacking-an ke Raja Ampat nggak jadi-jadi gara-gara nggak ada duit. Lagi pula, elo kan…” pengangguran, Inggrid melanjutkan dalam hati.
Mendengar ini, Ganis hendak mengalihkan bahan pembicaraan. “Eh, nggak jadi ngomongin soal Nitnit lagi? Kita kan rapat buat…”
“SSSTTT!!” Fathya mendesis galak. Tidak ingin diinterupsi. “Ceritain dulu London-London lo itu! Bikin ‘kepo’ aja. Buruan!”
Tawa Ganis kemudian merekah, bertolak belakang dengan ucapannya yang mulai membuat ingatan Parjokers melayang pada insiden tiga tahun lalu.
“Ingat Kitab Cinta yang gue bawa waktu Dasteran Party di rumah Opie pas semester tiga?” Nada suara Ganis melemah, tapi senyumnya tak pernah lepas. Seakan ingin menguatkan hatinya yang mulai ternoda dengan segores luka lama.
Parjokers saling berpandangan. Entah mengapa suasana rusuh yang terbangun tadi, kini malah menjadi sendu. Ganis pun melanjutkan dongengnya karena semua orang tak percaya ia punya rencana besar selain sekadar melancong (baca: menggelandang) ke London.
FYI, I’ll never forget that ‘damn’ handsome Italian guy for all my life.”
Seiring genderang dibunyikan, Parjokers tak akan bisa menghentikan guliran kisah ini mengalir penuh daya. Bahkan, Ganis pun tidak sama sekali.



* * *
to be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar